Sabtu, 16 Maret 2013

KALIMAT TAUHID ADALAH DO’A TERBAIK




Sebaik-baik do’a adalah do’a di hari Arafah, dan sebaik-baik yang kuucapkan dan diucapkan oleh para Nabi sebelumku adalah :
“Tiada ilah selain Allah saja dan tiada sekutu bagiNya; milikNya lah segala kekuasaan dan segala pujian, dan Dia Maha Kuasa atas segala sesuatu” (HR. Tirmidzi no 3585 dan ia mengatakan : Hadits hasan gharib dihasankan juga oleh syaikh Al-Albani. Hadits ini juga diriwayatkan oleh Ath Thabari dengan sanad yang jayyid, dengan redaksi:”Sebaik-baik yang kuucapkan dan diucapkan oleh para Nabi sebelumku di sore hari Arafah adalah:…. Dst”. Hadits yang senada juga diriwayatkan oleh Ahmad dengan redaksi : “Konon doa yang terbanyak diucapkan oleh Nabi pada sore hari Arafah adalah:…. Dst” dan para perawinya tsiqah (lihat: Tuhfatul Ahwadzi 10/33)

Husain bin Hasan Al Marwazi menceritakan: Aku pernah bertanya kepada Sufyan bin Unainah tentang doa yang paling afdhal di hari Arafah, maka jawabnya: “Laa ilaaha illallah… dst”.

“Ini adalah pujian dan bukan doa”, sanggahku.

“tidakkah kau tahu hadits yang diriwayatkan oleh sahabat Malik bin Huwairits radhiyallahu’anhu? Dalam hadits itu disebutkan bahwa Allah berkata:

“Jika hambaKu tersibukkan oleh puji-pujiannya atasKu dari memohon (berdoa) kepadaKu, niscaya Kuberikan kepadanya sesuatu yang lebih afdhal dari apa yang Kuberikan kepada orang-orang yang berdoa” Jawab Sufyan.

“Inilah penafsiran dari sabda Nabi tersebut” kata Sifyan.

“Tidakkah engkau pernah mendengar syairnya Umayyah bin Abi Shalt tetkala ia mendatangi Abdullah bin Jud’an untuk minta santunan darinya?” Tanya Sufyan.

“Tidak.” Jawabku. Maka kata Sufyan:

“Umayyah mengatakan:

Haruskah kusebut hajatku ataukah cukup bagiku rasa malumu, karena pemalu adalah sifatmu?
Kau tahu hak manusia saat dirimu berkecukupan. Bagimu leluhur yang mulia dan segala pujian,
Bila seseorang menyanjungmu di suatu ketika cukuplah itu baginya, tanpa perlu meminta

“Hai Husein, kalau manusia saja seperti ini, lantas baimana dengan Penciptanya?” Lanjut Sufyan. (lihat: Mir’aatul Mafatih (9/141))

Artinya, jika seorang dermawan macam Abdullah bin Jud’an yang musyrik saja tidak perlu dimintai agar memberi santunan, namun cukup dengan dipuji-puji karena iapasti malu jika tidak memberi apa-apa kepada yang memujinya… tentu Allah yangmenciptakannya dan yang Maha Pemalu dan Pemurah akan lebih malu bila tidak mengabulkan do’a hambaNya yang sibuk memujiNya.


Disalin dari buku"Tauhid Beres Negara Sukses", Sufyan bin Fuad Baswedan, MA, Akbar Media, hal 94--97.

Rabu, 13 Maret 2013

HUKUM-HUKUM YANG BERKAITAN DENGAN PERNIKAHAN (2)



bismillah,

“Dan kawinkalah orang-orang yang sendirian di antara kamu, dan orang-orang yang layak (berkawin) dari hamba-hamba sahayamu yang lelaki dan hamba-hamba sahayamu yang perempuan. Jika mereka miskin, Allah akan memampukan mereka dengan karuniaNya. Dan Allah Mahaluas (pemberianNya) lagi Maha Mengetahui.” (QS An-Nur: 32)


As-Sa’di menjelaskan “Pada ayat ini terkandung anjuran untuk menikah dan janji Allah kepada orang yang menikah dengan kecukupan setelah kondisi kefakirannya.”

Jika kalian itu miskin maka Allah yang akan mencukupi rizki kalian. Boleh jadi Allah mencukupinya dengan memberi sifat qona’ah (selalu merasa cukup) dan boleh jadi pula Allah mengumpulkan dua rizki sekaligus (Lihat An Nukat wal ‘Uyun)

Dari ayat di atas, Ibnu Mas’ud radhiyallahu ‘anhu berkata,
“Carilah kaya (hidup berkecukupan) dengan menikah.”  (Lihat Tafsir Al Qur’an Al ‘Azhim mengenai tafsir ayat di atas). Lihatlah pemahaman cemerlang dari seorang Ibnu Mas’ud karena yakin akan janji Allah.

Abu bakar Ash-Shiddiq radhiallahu ‘anhu pernah berkata,
“Taatlah perintah Allah untuk menikah, pasti Allah akan memenuhi janji-Nya kepada kalian untuk memberi kecukupan.”

Sungguh indah syari’at menikah dalam Islam jika dibandingkan dengan agama lain. Allah membolehkan orang-orang yang beriman untuk menikah, bercerai, juga menikah lagi dengan wanita yang telah diceraikannya setelah wanita tersebut menikah dengan pria lain. Adapun nasrani, mereka mengharamkan menikah untuk sebagian orang dan orang-orang yang dibolehkan menikah pun tidak boleh bercerai. Adapun orang-orang yahudi, mereka membolehkan talak. Akan tetapi, ketika wanita yang dicerai tersebut menikah dengan pria lain maka haram bagi pria yang menceraikannya tadi untuk menikahi kembali wanita tersebut.

Imam Ibnul Qoyyim Rohimahullah ketika menerangkan manfaat jima’ sebagai salah satu maksud pernikahan menyatakan bahwa jima’ memiliki 3 manfaat:
a). Memelihara turunan dan melestarikan silsilah.
b). Mengeluarkan air yang berbahaya apabila ditahan dan dibiarkan di dalam badan dan akan mengganggu keseimbangan badan.
c). Menyalurkan kebutuhan dan memperoleh kesenangan dan kelezatan dengan berjima’. (Al Hadyu an Nabawy 3/149)

(disalin dari catatan pribadi kajian selasa pagi di masjid al-Islam, baltos (12/3/12) dan ditambahkan dari beberapa sumber:
tafsir as-Sa’di)

bersambung, insyaAllah

Selasa, 12 Maret 2013

HUKUM-HUKUM YANG BERKAITAN DENGAN PERNIKAHAN (1)


bismillah,

“Dan di antara kekuasaanNya ialah Dia menciptakan untukmu istri-istri dari jenismu sendiri, supaya kamu cenderung dan merasakan tenteram kepadanya, dan dijadikanNya di antaramu rasa kasih dan sayang. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda bagi kaum yang berpikir.” (QS Ar-Rum: 21)

“Dan kawinkalah orang-orang yang sendirian di antara kamu, dan orang-orang yang layak (berkawin) dari hamba-hamba sahayamu yang lelaki dan hamba-hamba sahayamu yang perempuan. Jika mereka miskin, Allah akan memampukan mereka dengan karuniaNya. Dan Allah Mahaluas (pemberianNya) lagi Maha Mengetahui.” (QS An-Nur: 32)

As-Sa’di menjelaskan “Allah subhanahu wata’ala memerintahkan para wali dan tuan-tuan untuk menikahkan orang-orang yang ada dalam perwaliannya dan golongan ayama(orang-orang yang sendirian). Mereka adalah orang-orang yang tidak mempunyai pasangan, lelaki atau perempuan, janda atau perawan. Maka, wajib bagi kerabatnya dan wali anak yatim itu untuk menikahkan orang yang membutuhkan pernikahan dari orang-orang yang nefkahnya menjadi tenggungan si wali.”

Dalam hal ini manusia terbagi menjadi dua golongan:

Pertama: Yang butuh nikah (taa-iq ilan nikaah), ada yang punya kesiapan atau tidak. Jika butuh nikah dan punya kesiapan, maka dianjurkan untuk menikah. Menurut ulama Syafi’iyah dan ulama yang mumpuni lainnya, hukum nikah di sini sunnah, termasuk pula menjadi pendapat Imam Nawawi. Dalilnya adalah firman Allah Ta’ala,

“Kawinilah wanita-wanita (lain) yang kamu senangi” (QS. An Nisa’: 3). Di sini dikaitkan dengan yang pilihan atau yang kita sukai dan perintah wajib tidaklah dikatakan demikian. Sedangkan menurut Imam Ahmad, wajib menikah ketika khawatir terjatuh dalam zina.

Sedangkan yang butuh nikah tetapi tidak mampu akan nafkah seperti mahar, maka ia tidak menikah dan hendaklah menahan syahwatnya dengan banyak berpuasa. Jika tidak bisa tertahan dengan cara seperti itu, maka hendaklah ia memilih untuk menikah, moga saja Allah memberinya kecukupan dengan karunia-Nya.

Kedua: Tidak ada kebutuhan untuk nikah (ghoirut taa-iq ilan nikaah), ada dua keadaan: (1) tidak punya kesiapan, maka dimakruhkan untuk menikah karena jika diwajibkan sama saja membebani yang ia tidak mampu tanpa ada kebutuhan; (2) ia mendapati kesiapan finansial untuk menikah namun ia tidak butuh menikah, maka dimakruhkan pula untuk menikah. (Kifayatul Akhyar, 2: 35-36).

Adapun hukum asal menikah adalah sunnah menurut pendapat Abu Hanifah, Malik, Asy-Syafi’i, dan riwayat yang masyhur dari mazhab Al-Imam Ahmad. Sebagaimana hal ini merupakan pendapat mayoritas ulama, menyelisihi pendapat sekelompok ulama yang mengatakan wajib.

Mereka yang mewajibkan menikah berdalil dengan zhahir dari sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam,

“Wahai para pemuda, barangsiapa yang memiliki baa-ah , maka menikahlah. Karena itu lebih akan menundukkan pandangan dan lebih menjaga kemaluan. Barangsiapa yang belum mampu, maka berpuasalah karena puasa itu bagai obat pengekang baginya.” (HR. Bukhari no. 5065 dan Muslim no. 1400).

Dalil lainnya adalah:

Diriwayatkan oleh Imam Bukhari dan Muslim bahwasanya telah berkata Anas bin Malik Radhiyallahu ‘anhu:
Telah datang tiga orang ke rumah istri-istri nabi Shalallahu’alaihi Wassallam. Mereka bertanya tentang ibadahnya, maka tatkala telah diberitahu maka seakan-akan merasa amalnya sangat sedikit, lalu mereka berkata: “Dimana kita dibanding Rasulullah Shalallahu’alaihi Wassallam, sungguh Allah mengampuni dosa beliau yang telah lalu dan yang akan datang”. Maka berkata seseorang di antara mereka, “Adapun saya, maka saya akan shalat malam selamanya”, dan berkata seorang lagi, “Aku akan berpuasa sepanjang masa? dan yang lainnya,”Aku akan meninggalkan wanita, tidak akan menikah?. Lalu datang Nabi Shalallahu’alaihi Wassallam, kemudian beliau Shalallahu’alaihi Wassallam berkata:
‘Kaliankah yang telah berkata begini dan begitu ? Demi Allah, sungguh aku adalah orang yang paling takut dan paling taqwa dari kalian, akan tetapi aku shalat dan aku tidur, aku puasa dan aku berbuka, dan aku menikahi wanita. Maka barang siapa yang membenci pada sunnahku, maka dia tidak termasuk golnganku?’.” (HR. Al-Bukhari dan Muslim)

Anas bin Malik radhiyallahu 'anhu  berkata, “Rasulullah shalallahu 'alaihi wa sallam memerintahkan untuk menikah dan melarang keras untuk membujang dan berkata, “Nikahilah wanita yang sangat penyayang dan yang mudah beranak banyak(subur) karena aku akan berbangga dengan kalian dihadapan para nabi pada hari kiamat ” (HR Ibnu Hibban 9/338. Berkata Ibnu Hajar, “Adapun hadits “Sesungguhnya aku berbangga dengan kalian” maka hadits tersebut shahih dari hadits Anas…dikeluarkan oleh Ibnu Hibban dan disebutkan oleh Imam As-Syafi’i secara بلاغا (balagan) dari hadits Ibnu Umar dengan lafal “Menikahlah dan beranak banyaklah kalian karena sesungguhnya aku berbangga dengan (jumlah) kalian”, dan dikeluarkan oleh Al-Baihaqi dari hadits Abu Umamah dengan lafal “Menikahlah sesungguhnya aku memebanggakan (jumlah) kalian dihadapan umat-umat yang lain dan janganlah kalian seperti kerahiban orang-orang Nasrani…” (Fathul Bari 9/111). Dishahihkan oleh Syaikh Al-Albani dalam Irwa’ no 1784)

Dari Abi Dzar radhiyallahu ‘anhu bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:

”Dan di dalam kemaluan salah seorang di antara kalian adalah sedekah.” -Maksudnya dalam jima’nya (hubungan intim) terhadap istrinya- Maka mereka (Sahabat) berkata:”Wahai Rasulullah! Apakah salah seorang di antara kami mendatangi keluarganya (menunaikan syahwatnya/jima’) dan dia mendapatkan pahala?” Maka Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam berabda:”Bukankah apabila dia menunaikannya (jima’) di tempat yang haram dia akan mendapatkan dosa?” Maka demikian juga seandainya dia menunaikannya di tempat yang halal (istrinya) maka dia akan mendapatkan pahala.”(HR. Muslim)




(disalin dari catatan pribadi kajian selasa pagi di masjid al-Islam, Baltos (12/3/12) dengan beberapa tambahan yang bersumber dari:
http://rumaysho.com/belajar-islam/muslimah/4015-hukum-menikah.html
http://farisna.wordpress.com/2011/06/18/hukum-asal-menikah-adalah-sunnah/
http://menikahsunnah.wordpress.com/2007/06/20/makna-hukum-dan-tujuan-perkawinan/
http://asysyariah.com/membujang-ala-sufi.html
http://www.firanda.com/index.php/artikel/keluarga/43-kriteria-calon-istri-idaman-seri-3-qpenyayang-subur-dan-perawanq
tafsir as-Sa'di)


bersambung, insyaAllah

Minggu, 10 Maret 2013

BEBERAPA KESALAHAN SEPUTAR JENAZAH


Bismillah,

MEMINDAHKAN JENAZAH KE KAMPUNG HALAMAN

Kita sering mendengar berita pemulangan jenazah ke kampung halaman, walaupun jenazah berada di kota lain atau negara lain, dengan tu­juan mayit bisa dikubur di sisi kuburan keluarga­nya.
Sebenarnya jika antara tempat meninggal dan kampung halaman sang mayit berdekatan maka tidak terlalu dipermasalahkan. Permasalahannya, sebagian kaum muslimin mengharuskan hal ini, walaupun jenazah berada di tempat yang jauh.

Kebiasaan ini memunculkan rantai perma­salahan; lambatnya proses penguburan, membu­ruknya kondisi mayat sebab terlambat mengubur­kannya, adanya biaya pembawaan jenazah yang sangat mahal dan ini semua menyelisihi perintah Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam, untuk menyegerakan urusan jenazah sebagaimana hadits Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam, bahwa beliau bersabda :

“Bersegeralah dalam mengurus jenazah, karena jika dia orang yang shalih, maka hal itu adalah kebaikan yang kalian segerakan untuknya. Namun, jika dia tidak demikian, maka hal tersebut adalah keburukan yang kalian tinggalkan dari pundak-pundak kalian.” (Muttafaq ‘alaih: al-Bukhari (no.1315) dan Muslim (no.994))

Imam an-Nawawi mengatakan di dalam kitab al-Adzkaar, sebagaimana juga disebutkan oleh al-Bani di dalam kitab Ahkaamul Janaa-iz: “Jika dia berwasiat adar dipindahkan ke negeri lain, maka wasiatnya tidak perlu dilaksanakan, karena pemindahan itu hukumnya haram, berdasarkan pendapat yang shahih serta terpiih sebagaimana yang dikatakan oleh mayoritas ulama dan dikemukakan secara jelas olehpara ulama.”

Syaikh Ibnu Baz rahimahullah pernah mengatakan: “Meskipun orang yang telah meninggal tersebut telah berwasiat, maka wasiatnya tidak perlu dilaksanakan, karena para sahabat radhiyallahu ‘anhuma tidak pernah berwasiat demikian.”

Apabila seseorang meninggal bukan di tempat kelahirannya, maka ia dikubur di tempat tersebut, hal itu lebih baik baginya. Hal ini berdasarkan hadits ‘Abdullah bin ‘Amr radhiyallahu ‘anhu, dia berkata: “Seseorang meninggal dunia di Madinah, tempat di mana dia dilahirkan. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam menshalatinya kemudian bersabda: ‘Andaikata dia meninggal tidak di tempat kelahirannya!’ Para sahabat bertanya, ‘Mengapa demikian, wahai Rasulullah?’ Beliau menjawab:
“Sesungguhnya jika seseorang meninggal bukan di tempat kelahirannya, maka akan diukur dari tempat kelahirannya sampai tempat terakhir hayatnya (kelak) di Surga.” (An-Nasa-i, Kitab “al-Janaa-iz”, Bab “al-Maut  Bighairi Maulidihi” (no. 1831) dan dishahihkan oleh al-Bani dalam Shahiihun Nasa-i (II/8). Lihat pula Shahiih Ibnu Majah dari hadits Ibnu Mas’ud (III/386-387)).

Mayoritas para ulama (Dari kalangan madzhab Maliki, madzhab Hanafi, madzhab Syafi’i, dan Madzhab Hanbali (lihat Kitab al-Fiqh alal Madzahib al-Arba’ah 1/469)) membolehkan memin­dahkan jenazah sebelum dikubur ke kampung halamannya supaya sang mayat dikubur ber­dampingan dengan kuburan keluarganya (Lihat perkataan Imam Qurthubi rahimahullah dalam at-Tadzkiroh 1/94). Akan tetapi demi bolehnya hal ini harus terpenuhi be­berapa syarat ( Hukmu Naqlil Mayyit min Balad ila Balad Qobla ad-Dafn wa Ba’da ad-Dafn hlm. 23-24), di antaranya:
  • Jarak antara tempat meninggalnya dengan ku­buran tersebut berdekatan.
  • Ketika memindahkannya tidak terdapat kesu­litan yang memberatkan.
  • Jenazah tersebut harus terjaga dari kerusakan dan kehormatannya terlindungi.
  • Tidak menyulitkan keluarga serta para pen­gantarnya.


MENULISKAN NAMA PADA BATU NISAN

Dari Jabir, bahwasannya “Rasulullah shalallahu alaihi wasalam melarang menyemen kubur, menulisi, mendirikan bangunan diatasnya dan duduk di atasnya.” [Shahih, Abu Dawud 3326, At Tirmidzi 1052, An Nasa'i IV/86, Ibnu Majah 1563, Hakim I/370, Baihaqi 10/4, Ibnu Hibban 3164].
Sebagian ulama mengharamkan menulisi nisan, diantaranya adalah Asy Syaukani [Nailul Authaar IV/129], “Dalam hadits ini disebutkan pengharaman menulisi kubur. Zhahirnya tidak ada beda antara menulisi nama mayit atau tulisan-tulisan lainnya.”

Sementara itu yang menghalalkan diantaranya adalah Al Hakim [I/370], “Hadits ini tidak diamalkan karena selurun imam-imam kaum muslimin nisan makam mereka ditulisi dengan tulisan-tulisan. Ini merupakan tradisi yang diwariskan dari generasi ke generasi.”

Akan tetapi Adz Dzahabi membantah pernyataan Al Hakim dengan mengatakan, “Kami tidak mengetahui seorangpun sahabat Bani yang melakukan hal itu. Tradisi seperti ini dibuat-buat oleh sebagian tabi’in dan orang-orang setelah mereka. Sementara hadits larangan belum sampai kepada mereka
Sebagian ulama mengecualikan dengan alasan batu yang dituliskan oleh Rasulullah shalallahu alaihi wasalam di atas kuburan Utsman bin Madz’un untuk mengenalinya.
Menanggapi hal ini, Asy Syaukani [Nailul Authaar II/133] mengatakan, “Ini termasuk pengecualian dengan qiyas. Jumhur sepakat tidak sah qiyas bila berlawanan dengan nash sebagaimana dalam kitab Dha’un Nahaar. Jadi masalahnya ada pada keabsahan qiyas.”
Syaikh Al Albani [Ahkaamul Janaa-iz] mengatakan, “Bersandar secara mutlak pada qiyas tersebut adalah salah. Yang benar adalah pembatasan, jika seperti yang dilakukan oleh Rasulullah shalallahu alaihi wasalam untuk mengenalinya, karena jumlah kubur dan bebatuan terlalu banyak, maka boleh menulisi nama di batu sekedar untuk mengenali, Allahu a’lam.” [Mungkin yang dimaksud oleh Syaikh Al Albani sekedar batu yang ditulisi nama tanpa hiasan-hiasan, ukir-ukiran, dsb]



BEBERAPA KESALAHAN LAIN YANG BERTENTANGAN DENGAN SYARI’AT

Banyak orang awam, terlebih lagi yang membesar-besarkan para Syaikh, melakukan banyak kesalahan yang bertentangan dengan syari’at, khususnya yang menyangkut jenazah dan hukum-hukum pelaksanaannya (sebagian sudah disebutkan). Mereka menyangka hal itu bersumber dari agama Islam, padahal tidak, karena bertentangan dengan sunnah Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam atau karena memang tidak ada dalilnya atau karena berasal dari adat kebiasaan orang-orang kafir, atau tidak sah dalilnya, yang mana semua sebab tadi tidak samar bagi orang yang menuntut ilmu dan konsekwen, diantaranya:
[1] Membaca surah (Yaa Siin) untuk orang yang sakaratul maut.
[2] Menghadapkan orang yang sakaratul maut ke kiblat.
[3] Memasukkan kapas di pantat mayyit, tenggorokan serta hidungnya.
[4] Keluarga mayyit tidak makan sampai mereka selesai menguburkan.
[5] Mereka memanjangkan jenggot sebagai tanda sedih terhadap mayyit, kemudian dicukur lagi.
[6] Mengumumkan berita kematian lewat menara-menara.
[7] Mereka membaca saat seorang memberitakan kematian : Al-Fatihah ‘ala ruuh….
[8] Yang memandikan mayat membaca bacaan tertentu saat membasuh setiap anggota tubuh mayat.
[9] Mengeraskan dzikir saat memandikan mayat atau saat mengantar jenazah.
[10] Menghias jenazah.
[11] Meletakkan selendang di atas keranda.
[12] Keyakinan bahwa jika mayat baik maka jenazahnya ringan dibawa, sebaliknya jika jahat maka jenazahnya berat.
[13] Pelan-pelan dalam membawa jenazah.
[14] Mengangkat suara saat menghadiri jenazah, atau sibuk bercanda dengan orang lain.
[15] Memuji-muji jenazah saat menghadirinya di masjid sebelum di shalati atau sesudahnya, begitu pula sebelum dan menjelang pemakaman.
[16] Kebiasaan membawa jenazah dengan memakai mobil, serta mengantar dengan memakai mobil.
[17] Shalat ghaib, padahal sudah diketahui bahwa sudah dishalati di tempat meninggalnya.
[18] Imam berdiri lurus pada posisi tengah mayat laki-laki, atau posisi lurus dengan dada mayat wanita.
[19] Setelah shalat jenazah , ada yang bertanya dengan suara yang keras : “Bagaimana kesaksian kalian terhadap si mayyit ini ?” Lalu para hadirin menjawab : “Dia adalah orang shaleh”.
[20] Sengaja memasukkan mayyit dari arah liang kubur.
[21] Menyebar pasir di bawah mayat tanpa ada alasan daurat.
[22] Memercikkan bantal untuk mayyit atau jenis lain di bawah kepalanya di dalam liang kubur.
[23] Memakaikan air kembang ke mayat di dalam kuburnya.
[24] Talqin dengan kata-kata : “Wahai fulan …..” jika datang kepadamu dua malaikat …. dst.
[25] Takziyah di kuburan, dengan cara berdiri berbaris-baris.
[26] Berkumpul pada suatu tempat untuk bertakziyah.
[27] Membatasi takziyah dengan tiga hari.
[28] Bertakziyah dengan kata-kata : “Semoga Allah memperbanyak pahalamu” sebagai prasangka bahwa cara itu yang ada sunnahnya, padahal itu tidak ada dalam sunnah Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam.
[29] Penyiapan hidangan makanan dari keluarga mayyit di beberapa hari tertentu.
[30] Membuat makanan tertentu atau membelinya pada hari ke tujuh.
[31] Keluar pagi-pagi menuju ke mayyit yang telah mereka kuburkan kemarin, bersama kerabat keluarga dan teman-teman.
[32] Merayakan pujian untuk mayyit pada malam ke empat puluh, atau setahun setelah meninggal. [Abdur Razzaq Naufal dalam kitabnya Al-Hayaat Al-Ukhraa hal. 156 berkata : "Sesungguhnya peringatan ke empat puluh ini berasal dari adat raja-raja Fir'aun, sebab mereka sibuk dengan pengawetan mayat, persiapan serta perjalanan ke kuburan selama empat puluh hari, lalu setelah itu mereka menjadikan perayaan pemakaman].
[33] Menggali kubur sebelum wafat sebagai tanda kesiapan mati.
[34] Mengkhususkan ziarah kubur pada hari Idul Fitri.
[35] Mengkhususkan ziarah kubur pada hari Senin dan Kamis.
[36] Membaca Al-Fatihah atau Yaa Siin di kuburan.
[37] Mengirim salam kepada para nabi melalui mayat yang di ziarahi di kuburan.
[38] Menghadiahkan pahala ibadah seperti shalat dan bacaan Al-Qur’an kepada orang-orang muslim yang sudah mati.
[39] Menghadiahkan pahala amalan-amalan kepada Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam.
[40] Memberikan gaji kepada orang yang membaca Al-Qur’an dan menghadiahkannya untuk mayyit.
[41] Pendapat mereka : Bahwa do’a di sekitar kubur para nabi dan orang-orang shalih mustajab (dikabulkan).
[42] Menghiasi kubur.
[43] Bergantung di kubur nabi dan menciumnya.
[44] Bertawaf (berkeliling) di kubur para nabi dan orang-orang shalih. [Sebagaimana yang dilakukan orang-orang jahil di sebagian negara Islam seperti : Mesir, sayang sekali mereka menemukan orang yang memfatwakan kepada mereka bolehnya hal itu, yaitu dari kesesatan para syaikh-syaikh bid'ah].
[45] Meminta pertolongan dari mayyit, atau meminta doanya.
[46] Mempertinggi dan membangun kubur.
[47] Menulis nama mayyit serta tanggal wafatnya di atas kubur.
[48] Menguburkan mayyit di masjid, atau membangun masjid di atas kubur.
[49] Sengaja bepergian jauh untuk berziarah ke kubur para nabi.
[50] Mengirim tulisan yang berisi permohonan hajat kepada nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam saat berziarah.
[51] Anggapan mereka : “Bahwa tidak ada perbedaan antara semasa hidup dan sesudah mati nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam menyaksikan ummatnya, serta mengetahui keadaan dan urusan mereka.

Sumber:
http://jacksite.wordpress.com/2009/10/08/membawa-jenazah-untuk-dikuburkan-di-daerah-lain/
http://ibnuabbaskendari.wordpress.com/2010/12/04/memulangkan-jenazah-ke-kampung-halaman/
http://jacksite.wordpress.com/2007/08/09/hukum-batu-nisan-dalam-islam/
http://gizanherbal.wordpress.com/2011/09/08/ringkasan-hukum-hukum-jenazah/
Ensiklopedi Shalat Menurut Al Qur’an dan As-Sunnah, Dr. Sa’id bin Wahf al-Qahthani, Pustaka Imam Asy-Syafi’i
Ensiklopedi Larangan Menurut Al Qur’an dan As Sunnah, Syaikh Salim bin Ied Al Hilaly, Pustaka Imam Asy Syafi’i