Sabtu, 26 Oktober 2013

MEMBINA RUMAH TANGGA HARMONIS

Rumah tangga yang bahagia dan harmonis merupakan idaman bagi setiap mukmin. Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam telah memberi teladan kepada kita, mengenai cara membina keharmonisan rumah tangga. Sungguh pada diri Rasulullah itu terdapat teladan yang paling baik. Dan seorang suami harus menyadari, bahwa dalam rumahnya itu ada pahlawan di balik layar, pembawa ketenangan dan kesejukan, yakni sang istri. Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam.

الدُّنْيَا كُلُّهَا مَتَاعٌ, وَخَيْرُ مَتَاعِ الدُّنْيَا الزَّوْجَةُ الصَّالِحَةُ

Dunia itu penuh dengan kenikmatan. Dan sebaik-baik kenikmatan dunia yaitu istri yang shalihah.

Pandai-Pandailah Merawat Istri
Oleh karena itu, seorang suami harus pandai memelihara dan menjaga istrinya secara lahir batin. Sehingga bisa menjadi istri yang ideal, ibu rumah tangga yang baik dan bertanggung jawab. Suasana harmonis sangat ditentukan dengan kerja sama yang bagus antara suami istri dalam menciptakan suasana yang kondusif dan hangat, tidak membosankan, apalagi menjemukan.

Salah satu contoh suasana harmonis dalam rumah tangga Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam ialah Beliau memanggil ‘Aisyah Radhiyallahu 'anha dengan panggilan kesayangan dan mengabarkan kepadanya berita yang membuat jiwa 'Asiyah menjadi sangat bahagia.

‘Aisyah Radhiyallahu 'anha bercerita sebagai berikut, pada suatu hari Rasulullah berkata kepadanya.

يَا عَائِشُ, هَذَا جِبْرِيْلُ يُقْرِئُكِ السَّلاَمَ

Wahai ‘Aisy (panggilan kesayangan ‘Aisyah Radhiyallahu 'anha), Malaikat Jibril tadi menyampaikan salam buatmu. [Muttafaqun ‘alaihi]

Itulah salah satu contoh cara menciptakan suasana harmonis dalam rumah tangga yaitu memanggil istri dengan panggilan kesayangan. Kita masih sering melihat kaum suami yang memanggil istrinya seenaknya saja. Kadang kala memanggil istrinya dengan cacat dan kekurangannya. Kalau begitu sikap suami, bagaimana mungkin keharmonisan dapat tercipta? Bagaimana mungkin akan tumbuh rasa cinta istri kepada suami?

Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam -selaku Nabi umat ini yang paling sempurna akhlaknya dan paling tinggi derajatnya- telah memberikan sebuah contoh yang berharga dalam hal berlaku baik kepada sang istri dan dalam hal kerendahan hati, serta dalam hal mengetahui keinginan dan kecemburuan wanita. Beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam menempatkan mereka pada kedudukan yang diidam-idamkan oleh seluruh kaum hawa. Yaitu menjadi seorang istri yang memiliki kedudukan terhormat di samping suaminya.
‘Aisyah Radhiallahu 'Anha menuturkan:

كُنْتُ أَشْرَبُ وَأَنَا حَائِضٍ, فَأُنَاوِلُهُ النَّبِيَ فَيَضَعُ فَاهُ عَلَى مَوْضِعِ فِيّ وَ أَتَعَرَّقُ العَرَقَ فَيَتَنَاوَلُهُ وَ يَضَعُ فَاهُ فِي مَوْضِعِ فِيّ

Suatu ketika aku minum, ketika itu aku sedang haidh, lantas aku memberikan gelasku kepada Rasulullah dan beliau meminumnya dari mulut gelas tempat aku minum. Dalam kesempatan lain aku memakan sepotong daging, lantas beliau mengambil potongan daging itu dan memakannya tepat di tempat aku memakannya. [HR Muslim]

Kalau Perlu Sepiring Berdua!
Begitulah kemesraan dapat tercipta, yaitu menciptakan rasa saling memiliki, senasib dan sepenanggungan. Sepiring berdua, segelas berdua, makan berjama'ah serta beberapa hal lain yang dianjurkan oleh Rasulullah agar dilakukan bersama oleh sepasang suami istri! Dengan demikian akan tercipta rasa saling memahami satu sama lain. Sekarang ini jarang kita lihat suami yang peka terhadap perasaan istrinya. Si istri makan ala kadar di rumah sementara suami jajan sepuasnya di luar! Wajar bila rasa saling curiga tumbuh sedikit demi sedikit. Bahkan tidak sedikit pasangan suami istri yang cekcok gara-gara perkara sepele.

Sering Mencium Istri, Tabukah...?
Diriwayatkan oleh ‘Aisyah Radhiallahu 'Anha bahwa ia berkata:

أَنَّ النَّبِيَ قَبَّلَ امْرَأَةً مِنْ نِسَائِهِ ثُمَّ خَرَجَ إِلَى الصَّلاَةِ وَلَمْ يَتَوَضَّأْ

Rasulullah pernah mencium salah seorang istri beliau baru kemudian berangkat menunaikan shalat tanpa memperbaharuhi wudhu’. [HR Abu Dawud dan Tirmidzi]

Budaya mencium istri agaknya masih asing di tengah masyarakat kita, khususnya masyarakat timur. Bahkan masih banyak yang menggapnya tabu, mereka mengklaimnya sebagai budaya barat. Namun anggapan itu terbantah dengan riwayat yang kita bawakan tadi. Tentu saja mencium istri yang kita maksud di sini bukanlah mencium istri di depan umum atau di hadapan orang banyak. Sebenarnya banyak sekali hikmah sering-sering mencium istri. Sering kita lihat sepasang suami istri yang saling cuek. Kadang kala si suami pergi tanpa diketahui oleh istrinya kemana suaminya pergi. Buru-buru melepasnya dengan ciuman, menanyakan kemana perginya saja tidak sempat. Sang suami keburu pergi menghilang, kadang kala tanpa pamit dan tanpa salam!? Coba lihat bagaimana Rasulullah Shallallahu alaihi wa sallam bergaul dengan istri-istri beliau. Sampai-sampai Rasulullah menyempatkan mencium istri beliau sebelum berangkat ke masjid.

Ungkapkanlah Rasa Cinta Kepada Istri!
Dalam berbagai kesempatan Rasulullah selalu menjelaskan dengan gamblang tingginya kedudukan kaum wanita di sisi beliau. Mereka –kaum hawa- memiliki kedudukan yang agung dan derajat yang tinggi. Rasulullah Shallallahu alaihi wa sallam pernah menjawab pertanyaan ‘Amr bin Al-‘Ash Radhiyallahu anhu seputar masalah ini, beliau jelaskan kepadanya bahwa mencintai istri bukanlah suatu hal yang tabu bagi seorang lelaki yang normal.

‘Amr bin Al-‘Ash Radhiyallahu anhu pernah bertanya kepada Rasulullah Shallallahu لlaihi wa sallam: “Siapakah orang yang paling engkau cintai ?” beliau menjawab: “’Aisyah !” [Muttafaqun ‘alaihi]

Bagi yang mengidamkan keharmonisan rumah tangga, hendaklah sering-sering membaca kisah-kisah ‘Aisyah Radhiallahu 'asha bersama Rasulullah Shallallahu alaihi wa sallam. Dan mempelajari bagaimana kiat-kiat Rasulullah Shallallahu alaihi wa sallam membahagiakan ‘Aisyah Radhiallahu 'anha.

Aisyah Radhiallahu 'anha bercerita:

كُنْتُ أَغْتَسِلُ أَنَا وَ رَسُوْلُ اللهِ مِنْ إِنَاءٍ وَاحِدٍ

Aku biasa mandi berdua bersama Rasulullah Shallallahu لlaihi wa Sallam dari satu bejana. [HR Bukhari].

Manfaatkan Setiap Kesempatan
Rasulullah tidak pernah melewatkan sediktpun kesempatan kecuali beliau manfaatkan untuk membahagiakan dan menyenangkan istri melalui hal-hal yang dibolehkan.

Aisyah Radhiallahu 'Anha mengisahkan: “Pada suatu ketika aku ikut bersama Rasulullah Shallallahu alaihi wa sallam dalam sebuah lawatan. Pada waktu itu aku masih seorang gadis yang ramping. Beliau memerintahkan rombongan agar bergerak terlebih dahulu. Mereka pun berangkat mendahului kami. Kemudian beliau berkata kepadaku: “Kemarilah! sekarang kita berlomba lari.” Aku pun meladeninya dan akhirnya aku dapat mengungguli beliau. Beliau hanya diam saja atas keunggulanku tadi. Hingga pada kesempatan lain, ketika aku sudah agak gemuk, aku ikut bersama beliau dalam sebuah lawatan. Beliau memerintahkan rombongan agar bergerak terlebih dahulu. Kemudian beliau mengajakku berlomba kembali. Dan akhirnya beliau dapat mengungguliku. Beliau tertawa seraya berkata: “Inilah penebus kekalahan yang lalu !” [HR Ahmad]

Sungguh sebuah permainan yang sangat mengasyikkan dan cukup menghibur. Beliau perintahkan rombongan untuk berangkat terlebih dahulu agar beliau dapat menghibur hati sang istri dengan mengajaknya berlomba lari. Kemudian beliau memadukan permainan yang lalu dengan yang baru, beliau berkata: “Inilah penebus kekalahan yang lalu !”

Bagi mereka yang sering bepergian melanglang buana serta memperhatikan cerita orang-orang top dan terkemuka, pasti akan takjub melihat perbuatan Rasulullah Shallalahu 'alaihi wa sallam. Beliau adalah seorang nabi yang mulia, pemimpin yang selalu berjaya, berasal dari keturunan yang terhormat, yakni suku Quraisy dan Bani Hasyim. Pada saat-saat mengecap kemenangan dan kembali dari sebuah peperangan bersama rombongan pasukan, namun demikian beliau tetap sebagai seorang suami yang penuh kasih sayang dan rendah hati terhadap istri-istri beliau. Kedudukan beliau sebagai pemimpin pasukan, perjalanan panjang yang ditempuh, serta kemenangan demi kemenangan yang diraih di medan pertempuran, tidak membuat beliau lupa bahwa beliau di sisi beliau telah setia menunggu para istri yang sangat membutuhkan sentuhan lembut dan bisikan manja. Agar dapat menghapus beban berat perjalanan yang sangat meletihkan.

Diriwayatkan oleh Imam Bukhari bahwa ketika Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam kembali dari peperangan Khaibar, beliau menikahi Shafiyyah binti Huyaiy Radhiallahu 'anha. Beliau Shallallahu 'alaihi wa salla mmengulurkan tirai di dekat unta yang akan ditunggangi untuk melindungi Shafiyyah Radhiallahu 'anha dari pandangan orang. Kemudian beliau duduk bertumpu pada lutut di sisi unta tersebut, beliau persilakan Shafiyyah Radhiallahu 'anha untuk naik ke atas unta dengan bertumpu pada lutut beliau.

Pemandangan seperti ini memberikan kesan begitu mendalam yang menunjukkan ketawadhu’an beliau. Rasulullah -selaku pemimpin yang berjaya dan seorang nabi yang diutus- memberikan teladan kepada umatnya bahwa bersikap tawadhu’ kepada istri, mempersilakan lutut beliau sebagai tumpuan, membantu pekerjaan rumah, membahagiakan istri, sama sekali tidak mengurangi derajat dan kedudukan beliau.

Kalau kita bandingkan dengan sikap dan perilaku para suami sekarang ini, kadang kala kesibukan mereka di luar rumah dan kegiatan-kegiatan mereka lainnya disamping mencari nafkah kadang mengenyampingkan hak istri. Para istri tidak lagi mendapat kemanjaan dan hiburan dari suaminya. Namun yang ditemui sang istri adalah wajah suaminya yang berkurut bak jeruk purut karena kelelahan atau karena kesal di luar rumah atau karena masalah-masalah di luar rumah yang menghimpitnya? Jangankan waktu bermain atau bercanda dan bersenda gurau, kadang kala waktu mengobrol saja tidak ada! Jika demikian keadaannya bagaimana mungkin keharmonisan rumah tangga dapat tercipta?

Poligami, Merusak Keharmonisan...?
Syariat Islam membenarkan para suami untuk menikahi lebih dari satu istri, mereka diizinkan menikahi empat istri jika memiliki kesanggupan untuk itu. Dan para suami diperintahkan berlaku adil terhadap istri-istrinya, adil dalam masalah pembagian giliran dan nafkah.

Dan sebagaimana yang sudah dimaklumi bahwa Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam menikahi sembilan wanita yang kemudian dikenal dengan sebutan Ummahatul Mukminin Radhiallahu 'anhum. Rasulullah merupakan contoh terbaik dalam hal berlaku adil kepada para istri, dalam hal pembagian giliran ataupun urusan lainnya. ‘Aisyah Radhiallahu anha pernah mengungkapkan:

كَانَ رَسُوْلُ اللهِ إِذَا أَرَادَ سَفَرًا أَقْرَعَ بَيْنَ نِسَائِهِ, فَأَيَّتُهُنَّ خَرَجَ سَهْمُهَا خَرَجَ بِهَا مَعَهُ, وَكَانَ يُقَسِّمُ لِكُلِّ امْرَأَةٍ مِنْهُنَّ يَوْمَهَا وَلَيْلَتَهَا

Setiap kali Rasulullah Shallallahu لlaihi wa sallam hendak melakukan lawatan, beliau selalu mengundi para istri. Bagi yang terpilih akan menyertai beliau dalam lawatan tersebut. Beliau membagi giliran bagi setiap istri masing-masing sehari semalam. [HR Muslim]

Riwayat Anas berikut ini memaparkan kepada kita salah satu bentuk keadilan beliau kepada para istri. Anas Radhiyallahu anhu menceritakan:

كَانَ لِلنَّبِيِّ تِسْعُ نِسْوَةٍ, فَكَانَ إِذَا قَسَّمَ بَيْنَهُنَّ لاَ يَنْتَمِي إِلَى المَرْأَةِ الأُوْلَى إِلاَّ فِي تِسْعٍ, فَكُنَّ يَجْتَمِعْنَ كُلَّ لَيْلَةٍ فِي بَيْتِ الَّتِي يَأْتِيْهَا, فَكَانَ فِي بَيْتِ عَائِشَةَ, فَجَاءَتْ زَيْنَبُ فَمَدَّ يَدَهُ إِلَيْهَا فَقَالَتْ عَائِشَةُ: هَذِهِ زَيْنَبُ ! فَكَفَّ النَّبِيُ يَدَهُ…"

Rasulullah Shallallahu alaihi wa sallam mempunyai sembilan orang istri. Apabila beliau telah membagi giliran bagi para istri, beliau hanya bermalam di rumah istri yang tiba masa gilirannya. Biasanya para Ummahaatul Mukminin berkumpul setiap malam di rumah tempat beliau bermalam. Pada suatu malam, mereka berkumpul di rumah ‘Aiysah Radhiallahu 'anha yang sedang tiba masa gilirannya. Rasulullah mengulurkan tangannya kepada Zaenab Radhiallahu 'anha yang hadir ketika itu. ‘Aisyah Radhiallahu 'anha berkata: “Itu Zaenab !” Beliau segera menarik tangannya kembali.[Muttafaqun ‘alaihi]

Begitulah keadilan yang dicontohkan oleh Rasulullah Shallallahu لlaihi wa sallam. Namun sekarang ini masih ada kita temui para suami yang melakukan sunnah ta'addud (poligami) yang mengabaikan hak salah satu istrinya. Bahkan tragisnya berakhir pada penyia-nyiaan hak salah satu istrinya, apakah itu istri yang pertama ataupun yang kedua. Karena dalam pandangan syariat tidak ada bedanya kedudukan istri pertama dengan istri kedua, ketiga ataupun keempat.

Hendaklah para suami yang melaksanakan sunnah ta'addud hendaklah meneladani Rasulullah Shallallahu alaihi wa sallam dalam bersikap adil terhadap para istri dan dalam memenuhi hak istri-istrinya. Sehingga sunnah ta'addud ini tidak menjadi momok dalam rumah tangga yang kerap kali diasumsikan bakal merampas keharmonisan rumah tangga. Asumsi seperti itu telah dibantah oleh Rasulullah Shallallahu لlaihi wa sallam, beliau membuktikan bahwa banyak istri itu tidaklah mengurangi keharmonisan rumah tangga.

Ajak Istri Beribadah Bersama!
Demikianlah suasana rumah tangga Rasulullah, suasana harmonis seperti itu hanya dapat terwujud dengan bimbingan taufik dan hidayah dari Allah. Salah satu faktor terbinanya rumah tangga yang harmonis bahkan merupakan pilar utamanya adalah beribadah bersama. Suami hendaklah mengajak istrinya untuk beribadah bersama, seperti shalat malam bersama, shaum sunnat bersama, dan beberapa ibadah lain yang bisa dilakukan bersama-sama. Rasulullah Shallallahu لlaihi wa sallam telah mencontohkan hal itu. Beliau senantiasa menganjurkan istri-istri beliau untuk giat beribadah serta membantu mereka dalam melaksanakan ibadah, sesuai dengan perintah Allah Subhanaahu wa Taala.

وَأْمُرْ أَهْلَكَ بِالصَّلَاةِ وَاصْطَبِرْ عَلَيْهَا ۖ لَا نَسْأَلُكَ رِزْقًا ۖ نَّحْنُ نَرْزُقُكَ ۗ وَالْعَاقِبَةُ لِلتَّقْوَىٰ

Dan perintahkanlah kepada keluargamu mendirikan shalat dan bersabarlah kamu dalam mengerjakannya. Kami tidak meminta rizki kepadamu, Kamilah yang memberi rizki kepadamu. Dan akibat (yang baik) itu adalah bagi orang yang bertaqwa.[ Thaaha/20 :132]

‘Aisyah Radhiallahu 'anha menceritakan:

كَانَ النَّبِيُ يُصَلِّي وَأَنَا رَاقِدَةٌٌ مُعْتَرِضَةٌ عَلَى فِرَاشِهِ, فَإِذَا أَرَادَ أَنْ يُوتِرَ أَيْقَظَنِي

Rasulullah Shallallahu لlaihi wa sallam biasa mengerjakan shalat malam sementara aku tidur melintang di hadapan beliau. Beliau akan membangunkanku bila hendak mengerjakan shalat witir. [Muttafaqun ‘alaihi].

Rasulullah Shallallahu alaihi wa sallam menghimbau umatnya untuk mengerjakan shalat malam dan menganjurkan agar suami istri hendaknya saling membantu dalam mengerjakannya. Sampai-sampai sang istri boleh menggunakan cara terbaik untuk itu, yaitu dengan memercikkan air ke wajah suaminya! demikian pula sebaliknya. Abu Hurairah Radhiyallahu anhu meriwayatkan sebuah hadits dari Rasulullah bahwa beliau bersabda:

رَحِمَ اللهُ رَجُلاً قَامَ مِنَ اللَّيْلِ فَصَلَّى وَأَيْقَظَ امْرَأَتَهُ فَصَلَّتْ فَإِنْ أَبَتْ نَضَحَ فِي وَجْهِهَا المَاءَ, رَحِمَ اللهُ امْرَأَةً قَامَتْ مِنَ اللَّيْلِ فَصَلَّتْ وَأَيْقَظَتْ زَوْجَهَا فَصَلَّى فَإِنْ أَبَى نَضَحَتْ فِي وَجْهِهِ المَاءَ

Semoga Allah Subhanaahu wa Ta'ala merahmati seorang suami yang bangun pada malam hari untuk mengerjakan shalat malam lalu membangunkan istrinya untuk shalat bersama. Bila si istri enggan, ia memercikkan air ke wajah istrinya (supaya bangun). “Semoga Allah Subhanaahu wa Ta'ala merahmati seorang istri yang bangun pada malam hari untuk mengerjakan shalat malam lalu membangunkan suaminya untuk shalat bersama. Bila si suami enggan, ia memercikkan air ke wajah suaminya (supaya bangun). [HR Ahmad].

Jagalah Penampilanmu!
Diantara faktor pendukung terciptanya suasana harmonis adalah selalu menjaga penampilan. Seorang suami ataupun istri hendaklah selalu menjaga penampilan masing-masing. Hindarilah penampilan yang awut-awutan dan bau yang tidak sedap. Perhatian seorang muslim terhadap penampilan lahiriyah sebagai pelengkap bagi kesucian batinnya termasuk salah satu bentuk kesempurnaan pribadi. Dalam hal ini Rasulullah Shallallahu alaihi wa sallam adalah teladan yang paling baik. Beliau adalah seorang yang suci lahir maupun batin, beliau menyenangi wangi-wangian dan siwak dan beliau menganjurkan umatnya untuk itu. Rasulullah Shallallahu لlaihi wa sallam bersabda:

كَانَ رَسُوْلُ اللهِ إِذَا قَامَ مِنَ النَّوْمِ يَشُوْصُ فَاهُ بِالسِّوَاكِ

Seandainya tidak menyusahkan umatku, niscaya akan kuperintahkan mereka untuk bersiwak setiap kali hendak shalat. [HR Muslim]

Hudzaifah Radhiyallahu anhu berkata:

كَانَ رَسُوْلُ اللهِ إِذَا قَامَ مِنَ النَّوْمِ يَشُوْصُ فَاهُ بِالسِّوَاكِ.

Rasulullah Shallallahu لlaihi wa Sallam biasa menggosok giginya dengan siwak setiap kali bangun dari tidur. [H.R Muslim].

Syuraih bin Hani’ berkata: “Aku pernah bertanya kepada ‘Aisyah Radhiallahu 'anha: ‘Apa yang pertama sekali dilakukan Rasulullah Shallallahu alaihi wa sallam setiap kali memasuki rumahnya ?” ‘Aisyah Radhiallahu 'anha menjawab: “Beliau memulainya dengan bersiwak.” [HR Muslim].

Betapa besar perhatian beliau terhadap kebersihan! beliau mempersiapkan diri sebaik mungkin untuk bertemu dengan keluarga.

Beliau selalu membaca doa setiap kali memasuki rumah, sebagai berikut:

بِسْمِ اللهِ وَلَجْنَا, وَ بِسْمِ اللهِ خَرَجْنَا, وَعَلَى رَبِّنَا تَوَكَّلْنَا, ثُمَّ يُسَلِّمُ عَلَى أَهْلِهِ

Dengan menyebut nama Allah kami masuk (ke rumah), dan dengan menyebut nama Allah kami keluar (darinya), dan kepada Rabb kami, kami bertawakkal. Kemudian beliau mengucapkan salam kepada keluarganya. [HR Abu Dawud]

Wahai saudaraku sekalian para pemimpin rumah tangga, bahagiakanlah keluargamu dengan penampilan yang bersih dan ucapan salam ketika menemui mereka. Janganlah engkau ganti dengan cacian, makian dan bentakan. Ciptakanlah suasana harmonis dalam rumah tanggamu dan jadikanlah rumahmu sebagai surga bagimu, bagi istri dan anak-anakmu!

[Disalin dari majalah As-Sunnah Edisi 06/Tahun VI/1423H/2002M Diterbitkan Yayasan Lajnah Istiqomah Surakarta, Jl. Solo – Purwodadi Km. 8 Selokaton Gondangrejo Solo 57183 Telp. 08121533647, 08157579296] http://almanhaj.or.id/content/3063/slash/0/membina-rumah-tangga-harmonis/

Kamis, 24 Oktober 2013

Untukmu Yang Inginkan Bidadari



Wahai lelaki dunia...
Cintailah istri shalihah yang tiada sempurna
Dengan cinta yang nyaris sempurna*
Menikahinya akan menghantarkanmu bersanding dengan bidadari di surgaNya yang sempurna



Rabu, 23 Oktober 2013

Wanita Menikah dalam Keadaaan Haid

Pertanyaan:
Assalamu ‘alaikum. Ustadz/Ustadzah yang dirahmati Allah. Saya ingin bertanya, bagaimana hukumnya seorang wanita muslimah yang ingin menikah dalam keadaan haid? Jazakumullah khairan.
Anisa Mardhiyyah (ummu**@yahoo.***)

Jawaban:
Wa’alaikumussalam warahmatullah.
Bismillah.
Kondisi wanita yang sedang “datang bulan” tidaklah mempengaruhi keabsahan akad nikah.
Artinya, seseorang yang melakukan akad nikah, sementara mempelai wanita sedang haid, akad nikahnya sah.
Hanya saja, setelah akad, kedua pengantin tidak diperkenankan melakukan hubungan badan sampai sang istri suci dari haid dan telah mandi.
Sebagaimana firman Allah,
وَيَسْأَلُونَكَ عَنِ الْمَحِيضِ قُلْ هُوَ أَذًى فَاعْتَزِلُوا النِّسَاء فِي الْمَحِيضِ وَلَا تَقْرَبُوهُنَّ حَتَّى يَطْهُرْنَ فَإِذَا تَطَهَّرْنَ فَأْتُوهُنَّ مِنْ حَيْثُ أَمَرَكُمُ اللَّهُ
Mereka bertanya kepadamu tentang haid. Katakanlah, ‘Haid itu adalah kotoran.’ Maka jauhilah diri kalian dari wanita ketika haid, dan janganlah kalian mendekati mereka sebelum mereka suci. Apabila mereka sudah suci maka datangilah mereka di tempat yang diperintahkan Allah kepadamu.” (Q.S. Al-Baqarah:222)
Kemudian, dalam kondisi ini, kedua pengantin tidak bisa melakukan shalat berjemaah di awal malam pertama. Untuk itu, suami bisa shalat sunah sendirian, kemudian memegang ubun-ubun sang istri dan mendoakannya dengan doa keberkahan.
Selanjutnya, kami menasihatkan agar masing-masing berusaha bertakwa kepada Allah, agar jangan sampai terpengaruh dorongan nafsu dan godaan setan, sehingga melakukan tindakan yang mengundang murka Allah.
Semoga diberkahi. Amin ….
Simak: Fatawa Syabakah Islamiyah, no. 7749
Dijawab oleh Ustadz Ammi Nur Baits (Dewan Pembina Konsultasi Syariah).
Artikel www.KonsultasiSyariah.com

Apakah istri harus mengetahui semua persoalan suami?


Sebuah mahligai rumah tangga tidak pernah lepas dari berbagai macam problematika keluarga yang cenderung menumpuk dan mengkristal, baik datangnya dari pihak suami maupun istri. Penumpukan problem ini bisa menjadi bom waktu yang suatu saat meledak meluluhlantakkan rumah tangga.
Karena itu, usaha maksimal untuk menjinakkan bom permasalahan menjadi sebuah keniscayaan, agar kita tidak mendengar ucapan seseorang , “Aku lebih bahagia saat bujang, daripada keadaanku sekarang setelah menikah”.
Untuk mencairkan permasalahan dan menjinakkannya, diperlukan keterbukaan dan komunikasi intensif dari suami istri, jangan biarkan komunikasi dan keterbukaan suami istri membeku yang akan menyebabkan suami istri menutup diri, tidak terbuka menyampaikan masalahnya kepada pasangannya. Dengan adanya komunikasi suami istri, niscaya akan tercipta keluarga yang harmonis dan beralaskan cinta sejati. Cinta yang bersemi dalam hati, berkembang dalam kata, dan terurai dalam laku.

Komunikasi suami istri dan keterbukaan dalam hidup berumah tangga sangatlah penting, bagaimana tidak? Bukankah hakikat pernikahan adalah sebuah ikatan kerja sama, saling menerima dan memberi, dan saling memberikan hak-hak dan kewajiban-kewajiban? Bukankah ini semua tidak mungkin terlaksana kecuali dengan komunikasi dan keterbukaan suami istri?
Di antara bukti-bukti komunikasi suami istri yang telah dicontohkan oleh para salaf sangatlah banyak. Jika kita membaca sejarah, niscaya kita dapatkan bagaimana para istri mendukung suami dan berdiskusi dengannya.
Sejarah tidak pernah melupakan sikap Khadijah istri Rasulullah b ketika beliau mendapati Rasulullah – shollallohu ‘alaihi wa sallam – takut dan gemetar saat wahyu datang kepadanya kali pertama, dia tidak mengetahui bahwa yang datang kepadanya itu wahyu dari Allah, Rasulullah   – shollallohu ‘alaihi wa sallam – saat itu berkata, “Aku takut pada diriku sendiri”, kemudian Khadijah menenangkannya, menghiburnya seraya berkata, “Demi Allah, Dia tidak akan menyengsarakanmu, kamu selalu menyambung tali silaturahmi, menyantuni anak yatim, membantu fakir miskin, memuliakan tamu, membantu orang-orang yang tertimpa musibah” (Muttafaqun Alaih)
Jikalau Khadijah tidak membantu suaminya yaitu Rasulullah – shollallohu ‘alaihi wa sallam – untuk berbuat baik, niscaya Khadijah tidak berkata apa yang dia katakan, Khadijah membekali suaminya makanan dan minuman ketika menyendiri di gua Hira bermunajat kepada Allah.
Kemudian, Khadijah juga sebaik-baik pembantu bagi Rasulullah setelah diutus menjadi Nabi dalam menghadapi musuh-musuh beliau, sebaik-baik penolong, dan sebaik-baik orang yang membantu Rasulullah – shollallohu ‘alaihi wa sallam – untuk tegar dalam memegang kebenaran. Khadijah memberikan hartanya ketika beliau – shollallohu ‘alaihi wa sallam – diboikot orang-orang Quraisy, setia mendampingi beliau ketika orang-orang meninggalkannya, dan membenarkannya ketika orang-orang mendustakannya. Oleh karena itu, Allah memberi kabar gembira kepadanya dengan surga, Rasulullah – shollallohu ‘alaihi wa sallam – bersabda, “Berilah kabar gembira kepada Khadijah dengan sebuah rumah di surga dari permata, tidak ada keributan dan kelelahan”. (Riwayat Turmudzi, dishahihkan oleh al Albani)
Demikian pula sikap istri-istri Nabi lainnya, istri-istri para sahabat, dan istri-istri para salafus shalih, mereka mendampingi suami-suami mereka di parit kebenaran, ikut memikul beban suami, dan ikut berjerih payah untuk menolong agama Allah.
Betapa indah rumah tangga yang dibangun di atas pondasi ketaatan kepada Allah Rabb semesta alam, betapa indah ketika istri membantu suaminya dengan diskusi dan dialog dalam ketaatan dan tidak membantunya dalam kemaksiatan, betapa indah ketika istri menaati suaminya dalam agama Allah. Para istri sekarang ini, harus banyak bercermin kepada istri para salaf, ingatlah ketika salah seorang dari mereka berkata kepada suaminya ketika menghantarkan suaminya yang hendak pergi kerja, dia berkara kepada suaminya:
“Bertakwalah kepada Allah dalam menjaga kami, jangan beri makan kami dari yang haram, kami bisa sabar karena lapar di dunia dan kami tidak bisa tahan panasnya api neraka di hari kiamat.” (Mafatih Sa’adah Zaujiyah)
Inilah sepenggal contoh bagaimana komunikasi suami istri yang telah dilakukan oleh para salaf. Akan tetapi, apakah keterbukaan suami istri dan komunikasi melazimkan sang istri harus mengetahui semua persoalan suami? Apakah sang istri harus mengkorek semua hal yang dilakukan suami saat pergi atau kerja di luar rumah atau di luar kota?
Untuk menjawab pertanyaan ini, kita harus mengenal persoalan-persoalan rumah tangga yang harus diketahui istri dan persoalan-persoalan rumah tangga yang tidak harus diketahui istri.
PERSOALAN RUMAH TANGGA, HARUS DIKETAHUI ISTRI
Perkara-perkara berkaitan langsung dengan rumah tangga seperti kebutuhan biologis, permasalahan yang sedang menghadang keluarga, perkembangan dan kondisi anak, dan perencanaan-perencanaan penting bagi keluarga untuk ke depannya seperti keuangan, pendidikan anak, dan lain-lain.
Perkara-perkara tersebut adalah perkara yang harus diketahui, saling dipahami, dan saling dimusyawarahkan oleh pasutri. Mereka berdua harus bisa memahami dan menghargai beratnya tanggung jawab yang dipikul di pundak mereka. Karena pernikahan itu, membutuhkan dua pasangan yang memiliki kecocokan dan yang telah matang pemikirannya. Bukan pasangan yang bermental anak kecil, karena hakikat pernikahan adalah membina keluarga dan penunaian tanggung jawab yang tidak ringan.
Betapa banyak pernikahan yang berakhir dengan kegagalan, karena kedua pasangan tidak memiliki tanggung jawab, masing-masing pasangan hanya ingin mencari ganti atas kekurangan yang selama ini dia rasakan sebelum menikah, mereka bermental anak kecil, tidak menghargai beratnya tanggung jawab yang dipikul oleh pundak mereka.
Dalam sebuah hadits disebutkan,
“Ketahuilah, setiap diri dari kalian adalah pemimpin dan akan dimintai pertanggung jawaban atas apa yang dia pimpin, seorang lelaki adalah pemimpin bagi keluarganya dan dia bertanggung jawab atas keluarganya, seorang istri bertanggung jawab atas rumah suaminya dan anak-anaknya, dan dia akan dimintai pertanggung jawaban atas mereka.” (Muttafaqun ‘Alaih)
PERSOALAN-PERSOALAN YANG TIDAK WAJIB DIKETAHUI ISTRI
Persoalan-persoalan khusus suami yang tidak berkaitan dengan urusan rumah tangga, seperti perincian urusan kerja suami dan aktivitas seperti dakwah dan lainnya yang tidak mengganggu dan tidak mengusik ketenangan dan ketenteraman rumah tangga, dan tidak mengurangi kewajibannya dia dalam memenuhi hak-hak istri, sang istri tidak berkewajiban mengetahui dan mengorek atau mewancarai dengan seabrek pertanyaan kepada suami.
Tidak wajibnya bagi sang istri mengetahui persoalan-persoalan itu, bukan berarti istri tidak boleh mengetahuinya sama sekali. Akan tetapi, sang suami harus bisa melihat kondisi istrinya, apakah sang istri bisa membantunya mencari solusi atau tidak? Jika bisa, maka tidak ada halangan bagi suami untuk mengajak istri berdiskusi dalam persoalan-persoalan khususnya. Demikian pula sang istri, dia harus bisa memahami kondisi suami yang sedang terhimpit persoalan atau tidak, kemudian dia berusaha meringankan beban dan persoalan yang sedang menghimpit suami.
Coba diperhatikan, bagaimana Rasulullah mengajak diskusi istrinya Ummu Salamah – rodhiyallohu ‘anha – saat para sahabat tidak mengindahkan perintahnya ketika beliau  – shollallohu ‘alaihi wa sallam – memerintahkan mereka untuk menyembelih hewan dan mencukur rambut setelah perjanjian Hudaibiyah. Ummu Salamah pun berkata kepada Rasulullah – shollallohu ‘alaihi wa sallam – , “Wahai Nabi Allah, apakah engkau senang hal ini? Sekarang temui mereka dan jangan ajak bicara mereka meskipun sepatah kata hingga engkau menyembelih hewan sembelihanmu dan engkau memanggil orang yang mencukur rambutmu.” Lalu Rasulullah menemui para sahabat, tidak mengajak bicara mereka dan beliau menyembelih hewan sembelihannya dan mencukur rambutnya, akhirnya para sahabat pun mengikuti apa yang dilakukan Rasulullah – shollallohu ‘alaihi wa sallam -. (Irwa’ul Ghalil)
Ibnu Hajar berkomentar, “Hadits ini menunjukkan keutamaan musyawarah, perkataan jika dibarengi perbuatan itu lebih berbekas daripada perkataan saja, dan bolehnya mengajak istri bermusyawarah”.
PANGKAL MALAPETAKA RUMAH TANGGA
Telah disebutkan bahwa istri tidak harus mengetahui semua persoalan suami,  Karena itu, iika ada wanita yang selalu mengawasi gerak-gerik suaminya karena ketidakpercayaannya, maka pernikahan seseorang tidak akan berjalan mulus, bahkan yang muncul adalah kegelisahan, kecurigaan, tidak pernah merasa tenteram, dan sebagainya. Pada akhirnya, pasutri akan saling menyalahkan dan menuduh, semuanya terlahir dari sikap suka berprasangka buruk. Karenanya, salah satu unsur pokok dalam membina rumah tangga adalah rasa saling percaya dan tidak saling berprasangka buruk.
Seorang istri harus memahami keinginan pasangan, yaitu dengan memenuhi kecenderungan, keinginan, kesenangan pasangan tanpa celaan atau tindakan perlawanan terhadap keinginan pasangan, selama dalam koridor syariat. Karena suami terkadang membutuhkan waktu sejenak untuk menyendiri atau sekadar berkumpul dengan teman-temannya. Ini adalah kebutuhan alami setiap lelaki, tidak ada perbedaan antara satu lelaki dengan lainnya, para ahli psikolog menyatakan bahwa seorang suami terkadang lebih mengutamakan berada jauh sementara dari istri, hingga timbul rasa kangen kepada istrinya.
Oleh karena itu, wahai para istri, janganlah kamu menjadi batu penghalang jalan suamimu untuk memenuhi keinginannya dan kesenangannya selama dalam batasan syariat. Janganlah kamu belenggu kebebasan suamimu dengan banyak tanya dan wawancara rumit, agar suamimu tidak merasa terbelenggu sehingga benci hidup denganmu, karena seorang suami tidak suka sikap seperti itu, tidak suka merasa dirinya terbelenggu, tidak suka kalau istrinya selalu ingin bersamanya setiap saat, atau tidak suka kalau istrinya selalu curiga dengan pertanyaan-pertanyaan tiada habisnya.
(Ditulis oleh: Ust. Agus Abu Aufa)

Selasa, 22 Oktober 2013

Nikah Misyar, Berpisah Jauh dari Pasangan


Nikah mis-yar (nikah miswar) adalah nikah di mana pasangan nikah hidup secara terpisah satu sama lain atas kesepakatan bersama dan tetap masih ada pemenuhan syahwat dan beberapa hak lainnya sesuai kesepakatan, dan bisa jadi si pasangan sepakat tidak ada pemberian tempat tinggal atau nafkah bulanan. Bagaimana pandangan Islam mengenai bentuk nikah semacam ini? Apakah dibolehkan?
Bentuk Nikah Misyar
Bentuk nikah misyar sudah ada sejak masa silam. Bentuk nikah semacam ini adalah suami mensyaratkan pada istrinya bahwa ia tidak diperlakukan sama dengan isti-istrinnya yang lain (dalam kasus poligami), bisa jadi pula ia tidak dinafkahi atau tidak diberi tempat tinggal, ada pula yang mensyaratkan ia akan bersama istrinya cuma di siang hari (tidak di malam hari). Atau bisa jadi si istri yang menggugurkan hak-haknya, ia ridho jika hanya ditemani suami di siang hari saja (bukan malam hari), atau ia ridho suaminya tinggal bersamanya hanya untuk beberapa hari saja. (islamqa.com: fatwa 97642)
Bentuk misyar ini sangat nampak sekali di negeri kita pada pasangan perselingkuhan  (tanpa status nikah) atau jika suami memiliki istri simpanan tanpa diketahui istri pertama, terserah dengan status nikah yang sah dengan istri kedua atau tidak.
Hukum Nikah Misyar
Nikah misyar tetap dikatakan sah jika terpenuhi syarat dan rukun nikah. Adapun pengguguran beberapa hak yang dipersyaratkan atau diizinkan oleh salah satu pasangan tidaklah menjadikannya nikahnya haram. Namun sebagian ulama memakruhkan nikah semacam ini. Akan tetapi, yang tepat nikah semacam ini masih boleh selama syarat dan rukun nikah terpenuhi.
Al Hasan Al Bashri dan ‘Atho’ bin Abi Robbah berpendapat bolehnya nikah nahariyah, yaitu membolehkan dilayani di siang hari saja, tidak di malam hari (Mushonnaf Ibnu Abi Syaibah, 3: 337).  Nikah nahariyah adalah salah satu bentuk nikah misyar.
‘Amir Asy Sya’bi ditanya mengenai seseorang yang sudah beristri dan menikahi wanita lain lalu ia syaratkan pada istri kedua, “Saya hanya bisa melayanimu satu hari dan istriku yang lain dua hari”. Asy Sya’bi menganggap nikah semacam itu tidak bermasalah (Mushonnaf Ibnu Abi Syaibah, 3: 338).
Sedangkan Muhammad bin Sirin, Hammad bin Abi Sulaiman dan Az Zuhri memakruhkan nikah semacam ini. (Lihat Mushonnaf Ibnu Abi Syaibah)
Syaikh ‘Abdul ‘Aziz bin ‘Abdillah bin Baz ditanya mengenai hukum nikah misyar, yaitu seorang pria menikah lagi dengan istri kedua, ketiga atau keempat, dan ia katakan pada istri tersebut untuk tetap tinggal di rumah orang tuanya, lantas si pria pergi ke rumah si istri ini pada waktu yang berbeda dari istri lainnya. Apa hukum dari nikah semacam ini?
Beliau rahimahullah menjawab, “Nikah misyar semacam ini tidaklah masalah asalkan terpenuhi syarat-syarat nikah, yaitu harus adanya wali ketika nikah dan ridho keduany pasangan, serta hadirnya saksi yang adil ketika akad berlangsung. Juga tidak adanya yang cacat yang membuat nikahnya tidak sah. Dalil akan bolehnya bentuk nikah semacam ini adalah keumuman dalil,
أَحَقُّ الشُّرُوْطِ أَنْ تُوْفُوْا بِهِ مَا اسْتَحْلَلْتُمْ بِهِ الْفُرُوْجَ
"Syarat yang paling berhak untuk ditunaikan adalah persyaratan yang dengannya kalian menghalalkan kemaluan (para wanita)" (HR. Bukhari no 2721 dan Muslim no 1418)
Begitu pula sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam,
وَالْمُسْلِمُوْنَ عَلَى شُرُوْطِهِمْ
"Dan kaum muslimin tetap berada diatas persyaratan mereka (tidak menyelishinya-pen)." (HR. Tirmidzi no. 1352 dan Abu Daud no. 3596, dishahihkan oleh Syaikh Al Albani)
Jika kedua pasangan sepakat jika si istri tetap di rumah bapaknya, atau si suami hanya bisa melayani istri di siang hari saja atau pada hari tertentu, atau pada malam tertentu, maka nikah semacam ini tidak bermasalah. Namun dengan syarat nikah ini dilakukan terang-terangan (diumumkan ke khalayak ramai), bukan sembunyi-sembunyi. (Fatawa ‘Ulama Balad Al Haram, 450-451)
Namun berbeda statusnya jika yang terjadi adalah perselingkuhan (alias: zina), ataunikahnya tanpa wali. Status nikah misyar seperti ini jelas tidak sah sebagaimana diterangkan dalam dua hadits berikut.
عَنْ عَائِشَةَ قَالَتْ : قَالَ رَسُوْلُ اللهِ : أَيُّمَا امْرَأَةٍ نَكَحَتْ بِغَيْرِ إِذْنِ وَلِيِّهَا فَنِكَاحُهَا بَاطِلٌ بَاطِلٌ بَاطِلٌ فَإِنِ اشْتَجَرُوْا فَالسُّلْطَانُ وَلِيُّ مَنْ لاَ وَلِيَّ لَهُ
Dari ‘Aisyah, ia berkata, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Seorang wanita yang menikah tanpa izin walinya maka pernikahannya adalah batiil, batil, batil. Dan apabila mereka bersengketa maka pemerintah adalah wali bagi wanita yang tidak memiliki wali”. (HR. Abu Daud no. 2083, Tirmidzi no. 1102, Ibnu Majah no. 1879 dan Ahmad 6: 66. Abu Isa At Tirmidzi mengatakan bahwa hadits ini hasan)
عَنْ أَبِيْ مُوْسَى الأَشْعَرِيِّ قَالَ : قَالَ رَسُوْلُ اللهِ : لاَ نِكَاحَ إِلاَّ بِوَلِيٍّ
Dari Abu Musa Al Asy’ari berkata, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Tidak sah pernikahan kecuali dengan wali”. (HR. Abu Daud no. 2085, Tirmidzi no. 1101, Ibnu Majah no. 1880 dan Ahmad 4: 418. Syaikh Al Albani mengatakan bahwa hadits ini shahih)
Nasehat: Sebaiknya Tidak Dilakukan
Syaikhuna –guru kami- Syaikh Sholeh bin Fauzan bin ‘Abdillah Al Fauzan, salah satu anggota Al Lajnah Ad Daimah (Komisi Fatwa di Saudi Arabia) dan ulama senior di kota Riyadh, ditanya, “Apa pendapatmu –wahai Syaikh- mengenai nikah misyar dan hukum syari’at mengenai nikah semacam ini?”
Jawaban beliau, “Aku tidak merekomendasikan nikah semacam itu karena tidak terpenuhinya maslahat nikah di dalamnya. Nikah semacam ini hanya sekedar pemenuhan syahwat. Suami tidak bisa mengawasi istrinya dengan benar.  Istri juga tidak hidup bersama dengan suami. Jika ada anak dari nikah semacam ini, maka ia akan jauh dari kerabatnya. Yang jelas nikah semacam ini tidak bisa menggapai tujuan nikah. Maka kami pun tidak menganjurkannya.” (Sumber fatwa: http://alfawzan.ws/node/13734)
Wallahu waliyyut taufiq was sadaad.

Cinta Terbaik


Cinta terbaik adalah 

ketika kau mencintai seseorang yang membuat 
imanmu mendewasa, 
taqwamu bertambah, 
cintamu padaNya juga bertumbuh...

cinta yang terbaik ialah 
saat kau mencintai seseorang yang membuat 
akhlakmu makin indah, 
jiwamu makin damai, 
hatimu makin bijak..

dia jadi penegur saat taatmu luntur
dia jadi penasehat saat kau maksiat
dia jadi pelipur saat semangatmu lebur.

Iya.... 

dialah cinta terbaik...
yang tak hanya ingin bersamamu di dunia 
tapi juga bertemu kembali di surga...