Selasa, 12 November 2013

Suami yang shalih, yang Romantis terhadap Istrinya


Kesibukan untuk beribadah kepada Allah, tidak berarti menghilangkan kadar romantis suami kepada istrinya.

Lihatlah Nabi...
Sebelum keluar rumah untuk pergi ke masjid, Beliau biasa mencium istri.
Beliau juga suka membaca Al Qur’an sambil menyandarkan kepala dipaha istri.
Bahkan, Beliau suka mencium dan mencumbu istri meski beliau sedang berpuasa.

Kebiasaan orang arab memanggil nama dengan lengkap.
Namun ada panggilan yang memberikan kesan sayang.

Dan Nabipun memanggil istri dengan panggilan manja.
Beliau memanggil Aisyah dengan Aisy.

Nabi memanggil istri dengan sifat indah yang ada padanya.
Aisyah adalah wanita berkulit putih.
Saking putihnya, nampak rona merah di wajah beliau.

Maka Nabipun sering memanggil aisyah dengan 'Ya Khumaira' atau 'Duhai wanita yang kemerah-merahan pipinya'.

Suatu ketika Aisyah minum dari sebuah cangkir.
Nabipun mengambil cangkir itu.
Nabi melirik dimana bekas bibir Aisyah.
Maka Nabipun minum dari tempat bekas bibir istri beliau.

Nabi sering mandi bareng dengan istri sambil bercanda dan bersendau gurau.

Nabipun suka mengingat kenangan indah bersama istri.
Meski kalah, kenangan indah saat nabi adu lari dengan aisyah tak pernah beliau lupakan.
Maka saat ada kesempatan, nabi kembali mengajak adu lari untuk mengingatkan istri kejadian indah masa itu.

(gambaran sikap romantis Nabi kepada istri-istrinya oleh ustadz Firanda Andirja, MA )


https://www.facebook.com/photo.php?fbid=696015757110173&set=a.301183753260044.76102.100001052658989&type=1

Minggu, 10 November 2013

Do'a Meminta Ketakwaan dan Sifat Qona'ah

Segala puji bagi Allah, Rabb semesta alam. Shalawat dan salam kepada Nabi kita Muhammad, keluarga, dan sahabatnya serta orang-orang yang mengikuti mereka dengan baik hingga akhir zaman.
Setelah sebelumnya kami kemukakan tentang keunggulan do’a yang ringkas, namun syarat makna. Begitu pula kami telah kemukakan mengenai keutamaan do’a sapu jagad yang paling sering Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam panjatkan (yaitu do’a: Robbana aatina fid dunya hasanah wa fil akhiroti hasanah wa qina ‘adzaban naar), selanjutnya kita lihat beberapa do’a lainnya yang diangkat oleh Imam An Nawawi (Yahya bin Syarf An Nawawi) dalam kitab beliau Riyadhus Shalihin. Kami pun akan mengutarakan faedah do’a tersebut. Semoga bermanfaat.
Do’a Meminta Ketakwaan dan Sifat Qona’ah
اللَّهُمَّ إنِّي أسْألُكَ الهُدَى ، والتُّقَى ، والعَفَافَ ، والغِنَى
“Allahumma inni as-alukal huda wat tuqo wal ‘afaf wal ghina.” Artinya: Ya Allah, aku meminta pada-Mu petunjuk, ketakwaan, diberikan sifat ‘afaf dan ghina.
Dari Ibnu Mas’ud radhiyallahu ‘anhu, beliau berkata,
أنَّ النبيَّ - صلى الله عليه وسلم - كَانَ يقول : (( اللَّهُمَّ إنِّي أسْألُكَ الهُدَى ، والتُّقَى ، والعَفَافَ ، والغِنَى
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam biasa membaca do’a: “Allahumma inni as-alukal huda wat tuqo wal ‘afaf wal ghina”.” (HR. Muslim no. 2721)
Faedah hadits:
Pertama: Yang dimaksud dengan “al huda” adalah petunjuk dalam ilmu dan amal. Yang dimaksud “al ‘afaf” adalah dijauhkan dari yang tidak halal dan menahan diri darinya. Yang dimaksud “al ghina” adalah kaya hati, yaitu hati yang selalu merasa cukup dan tidak butuh pada harta yang ada di tangan orang lain.
An Nawawi –rahimahullah- mengatakan, “ ’Afaf dan ‘iffah bermakna menjauhkan dan menahan diri dari hal yang tidak diperbolehkan. Sedangkan al ghina adalah hati yang selalu merasa cukup dan tidak butuh pada apa yang ada di sisi manusia.” (Syarh Muslim, 17/41)
Kedua: Keutamaan meminta petunjuk ilmu sekaligus amal karena yang dimaksud al huda adalah petunjuk dalam ilmu dan amal.
Ketiga: Keutamaan meminta ketakwaan. Yang dimaksud takwa adalah menjalankan perintah dan menjauhi larangan Allah. Takwa diambil dari kata “wiqoyah” yang maknanya melindungi, yaitu maksudnya seseorang bisa mendapatkan perlindungan dari siksa neraka hanya dengan menjalankan setiap perintah dan menjauhi setiap larangan.
Keempat: Keutamaan meminta sifat ‘afaf atau ‘iffah yaitu agar dijauhkan dari hal-hal yang diharamkan semacam zina. Berarti do’a ini mencakup meminta dijauhkan dari pandangan yang haram, dari bersentuhan yang haram, dari zina dengan kemaluan dan segala bentuk zina lainnya. Karena yang namanya zina adalah termasuk perbuatan keji.
Kelima: Keutamaan meminta pada Allah sifat al ghina yaitu dicukupkan oleh Allah dari apa yang ada di sisi manusia dengan selalu qona’ah, selalu merasa cukup ketika Allah memberinya harta sedikit atau pun banyak. Karena ingatlah bahwa kekayaan hakiki adalah hati yang selalu merasa cukup. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
لَيْسَ الْغِنَى عَنْ كَثْرَةِ الْعَرَضِ وَلَكِنَّ الْغِنَى غِنَى النَّفْسِ
Kekayaan (yang hakiki) bukanlah dengan banyaknya harta. Namun kekayaan (yang hakiki) adalah hati yang selalu merasa cukup.” (HR. Bukhari no. 6446 dan Muslim no. 1051)
Keenam: Dianjurkannya merutinkan membaca do’a ini.
Semoga bermanfaat.
Referensi:
Al Minhaj Syarh Shahih Muslim bin Al Hajjaj, Yahya bin Syarf An Nawawi, Dar Ihya’ At Turots, cetakan kedua, 1392
Bahjatun Naazhirin Syarh Riyadhish Sholihin, Salim bin ‘Ied Al Hilali, cetakan Dar Ibnul Jauzi, jilid I dan II, cetakan pertama, tahun 1430 H.
Syarh Riyadhish Sholihin, Syaikh Muhammad bin Sholih Al ‘Utsaimin, Darul Kutub Al ‘Ilmiyyah, jilid IV, cetakan ketiga, tahun 1424 H

Diselesaikan sore hari, 1 Jumadil Awwal 1431 H (15/04/2010) di Pangukan-Sleman
Penulis: Muhammad Abduh Tuasikal

Sabtu, 09 November 2013

Wanita Menikah Tanpa Mahar


Pertanyaan:
Syaikh Abdul Aziz bin Baz ditanya:
Apakah boleh seseorang ikhlas menikahkan putrinya karena Allah sehingga tidak meminta mahar dari calon suami?

Jawaban:

Wanita Menikah Tanpa Mahar

Dalam pernikahan harus ada pemberian harta sebagai maharberdasarkan firman Allah,
وَأُحِلَّ لَكُم مَّاوَرَآءَ ذَالِكُمْ أَن تَبْتَغُوا بِأَمْوَالِكُمْ مُحْصِنِينَ غَيْرَ مُسَافِحِينَ
Dan dihalalkan bagi kamu selain yang demikian yaitu mencari istri-istri dengan hartamu untuk dikawini bukan untuk berzina.” (QS. An-Nisa: 24)
Dan dalam sebuah hadis bahwa Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam bersabda kepada laki-laki yang meminang wanita (ia pernah menawarkan dirinya untuk dinikahi Rasulullah):
Carilah (mahar) walaupun berupa cincin dari besi.”
Barangsiapa yang menikah tanpa mahar, maka wanita mempunyai hak untuk menuntut kepada suami mahar. Mahar pernikahan boleh berupa mengajar membaca Alquran, hadis-hadis, atau ilmu-ilmu yang bermanfaat. Sebab tatkala seseorang yang tidak mempunyai harta untuk dijadikan mahar, maka Rasulullahshalallahu ‘alaihi wa sallam menyuruhnya agar memberi mahar dengan mengajarkan Alquran kepada calon istrinya. Mahar adalah hak murni wanita, jika hak tersebut dilepaskan oleh istri dengan sukarela, maka calon suami gugur dari kewajiban membayar mahar tersebut.
Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman,
وَءَاتُوا النِّسَآءَ صَدُقَاتِهِنَّ نِحْلَةً فَإِن طِبْنَ لَكُمْ عَن شَىْءٍ مِّنْهُ نَفَسًا فَكُلُوهُ هَنِيئًا مَّرِيئًا
Berikanlah mahar kepada wanita (yang kamu nikahi) sebagai pemberian dengan penuh kerelaan. Kemudian jika mereka menyerahkan kepada kamu sebagian dari mahar itu dengan senang hati, maka makanlah (ambillah) pemberian itu (sebagai makanan) yang sedap lagi baik akibatnya.” (An-Nisa: 4)
Sumber:Fatwa-Fatwa Tentang Wanita, Jilid 2, Darul Haq, Cetakan VI 2010

Sabtu, 02 November 2013

SURAT TERBUKA UNTUK PARA ISTRI : “KUNCI-KUNCI SUKSES MEMBINA RUMAH TANGGA”

Saudariku…
Banyak kunci sukses membina rumah tangga, di antaranya:
1. Mengenali karakter pasangan
Di antara perkara yang harus diperhatikan setelah pernikahan: berusaha mengenali karakter pasangan semampunya. Apa saja yang disukainya dan apa saja yang dibencinya. Sebab, dengan mengenali sifat dan karakter suamimu, akan tergambar di hadapanmu langkah-langkah yang jelas yang harus engkau ambil dalam berinteraksi dengannya.
Berikut beberapa tipe suami beserta solusi untuk menghadapinya:[2]
1. KERANJINGAN KERJA
Tipe suami seperti ini lebih mengutamakan pekerjaan daripada keluarga dan lingkungan sekitarnya. Tak heran jika waktu yang tersedia untuk keluarga sangatlah sedikit. Ia adalah seorang pekerja keras. Suami yang keranjingan kerja (workaholic) umumnya memiliki ego yang tinggi. Ia berpikir, toh semua demi kesejahteraan keluarga.
SOLUSI
Tak ada kata lain selain sabar. Carilah saat tepat untuk menyampaikan uneg-uneg Anda. Misalnya, menjelang tidur saat ia sudah dalam keadaan relaks. Katakan bahwa Anda dan anak-anak mengkhawatirkan kesehatannya yang terlalu diforsir untuk urusan pekerjaan, dan mengajaknya untuk berlibur di akhir pekan. Anda memang harus aktif. Ingatkan suami bahwa, sesibuk apa pun, ia harus menyempatkan diri bersama keluarga. Yang terpenting adalah komunikasi.
2. PEMALAS
Tipe ini kebalikan dari tipe workholic. Tipe seperti ini tentu sangat meresahkan istri. Pasalnya, selain tak mau bekerja, ia juga menyandarkan hidup sepenuhnya pada istri. Rumahtangga yang seharusnya menjadi tanggung jawabnya sebagai kepala rumahtangga, ia alihkan pada istri. Istrilah yang menjadi tulang punggung keluarga.
SOLUSI
Sama halnya tipe workholic, menghadapi suami pemalas juga butuh kesabaran tinggi. Jika tidak, bisa-bisa ribut sepanjang hari. Berbicara dari hati ke hati merupakan cara efektif. Tanyakan apa yang menyebabkan ia tak mau bekerja. Jika alasannya sulit mencari pekerjaan, Anda bisa memintanya menciptakan pekerjaan baru sesuai kemampuan yang ia miliki. Katakan bahwa tidak selamanya bekerja itu harus di kantor. Di rumah pun bisa bekerja. Yang penting ada kemauan. Ingatkan suami bahwa rumahtangga adalah tanggungjawab bersama antara Anda dan dia.

Berikut kelanjutan pembahasan tentang bermacam tipe suami dan cara menghadapinya: [3]

3. PERFEKSIONIS
Ini yang seringkali membuat istri kewalahan. Segala sesuatu harus kelihatan sempurna di matanya. Tak boleh ada yang cacat. Suami perfeksionis biasanya banyak menuntut. Istri harus cantik-lah, pintar-lah, rajin, pandai masak, dan sebagainya. Padahal, semua itu belum tentu dapat terpenuhi oleh sang istri.
SOLUSI
Terkadang memang kesal melihat suami yang terlalu banyak menuntut. Tetapi Anda tak perlu emosi. Katakan bahwa di dunia ini tidak ada yang sempurna. Setiap orang memiliki kekurangan dan kelebihan. Mintalah ia mengerti kekurangan Anda, seperti halnya Anda bisa mengerti kekurangannya.
4. ANAK MAMI
Suami tipe ini apa-apa, ia selalu minta pendapat sang ibu. Segala hal tentang diri Anda juga selalu dibandingkan dengan ibunya. Obsesinya adalah, Anda harus sama dengan figur ibunya. Mulai dari cara berdandan, memasak sampai memberikan kasih sayang. Parahnya jika suami tipe ini meminta istrinya mengubah sosok dan karakter agar serupa dengan ibunya. Jika keinginannya tidak terwujud, ia akan meminta bantuan sang ibu untuk memberi nasihat.
SOLUSI
Mintalah suami untuk memahami bahwa Anda dan ibunya memiliki perbedaan. Katakan, mengubah karakter dan penampilan agar serupa dengan ibunya bukanlah hal mudah. Semua itu butuh waktu dan proses. Tentu, tak ada salahnya Anda meniru hal positif dari ibu mertua Anda.
5. TIDAK ROMANTIS
Suami tipe ini cenderung kaku dan acuh pada istri. Ia tidak tahu bagaimana caranya memanjakan istri. Yang terjadi biasanya istrilah yang meminta dimanjakan dan diperhatikan.
SOLUSI
Anda dituntut untuk bersikap lebih agresif. Tak ada salahnya memulai bersikap romantis lebih dulu, dengan memberikan ciuman, belaian dan perhatian misalnya. Katakan bahwa Anda juga menginginkan hal itu dapat ia lakukan pada Anda. Tentu, tak mudah mengubah seseorang yang dingin menjadi agresif. Tetapi jika Anda sabar, insyaAllah sifat dingin suami akan mencair sedikit demi sedikit.
6. PEMARAH DAN BAWEL
Suami tipe ini memiliki temperamen tinggi dan gampang tersulut emosinya. Masalah kecil bisa menjadi besar. Umumnya suami pemarah sulit mengendalikan diri. Selain suka marah-marah, suami juga bawel. Segala hal tak luput dari ‘perhatiannya’. Penataan rumah yang kurang menarik, lantai yang kotor, dan sebagainya. Jika tak bisa menyikapi, bisa-bisa hubungan Anda menjadi terganggu.
SOLUSI
Kuncinya, berkepala dingin. Apalagi jika itu sudah merupakan pembawaannya. Saat ia melampiaskan emosinya, Anda harus mampu meredam diri, tidak terbawa emosi. Biarkan ia berbicara sepuasnya, baru setelah itu Anda sampaikan betapa sifatnya itu sangat mengganggu hubungan Anda. Jika Anda mampu menyampaikannya dengan baik, insyaAllahsuami pun akan mencoba mengubah sifat pemarahnya.
Saudariku…
Di antara kunci sukses membina rumah tangga:
2. Jangan lupakan makna kepemimpinan dalam rumah tangga
Seperti kata pepatah, bahtera yang memiliki dua nahkoda tentu akan tenggelam. Demikian juga dengan bahtera rumah tangga. Agar bahtera dan segenap penumpangnya selamat sampai tujuan maka tidak boleh ada dua orang nahkoda.
Dan ingatlah bahwa nahkoda bagi bahtera rumah tangga adalah suami. Dialah pemimpin dalam rumah tangga. Allah ta’ala berfirman,
“الرِّجَالُ قَوَّامُونَ عَلَى النِّسَاءِ بِمَا فَضَّلَ اللَّهُ بَعْضَهُمْ عَلَى بَعْضٍ وَبِمَا أَنْفَقُوا مِنْ أَمْوَالِهِمْ”.
Artinya: “Kaum laki-laki adalah pemimpin bagi kaum wanita, dikarenakan Allah telah melebihkan sebagian mereka (laki-laki) atas sebagian yang lain (wanita), juga karena mereka (laki-laki) telah menafkahkan sebagian dari harta mereka”. QS. An-Nisa’: 34.
Di antara bentuk kelebihan tersebut adalah kelebihan dari sisi ilmu, akal dan kekuasaan. Demikian keterangan dalam Tafsîr al-Jalâlain.
Sebagai pemimpin, suami bertanggung jawab untuk mensukseskan mahligai rumah tangganya yang diibaratkan seperti sebuah perusahaan, yang mana kedua belah pihak telah menanamkan modal berharga yaitu hidup dan mati mereka berdua.
Keduanya sama-sama bercita-cita dapat meraih keuntungan tertinggi. Yaitu lahirnya generasi yang salih dan salihah. Kemudian keluarga muslim tersebut membangun masyarakat yang kuat beragama. Sehingga dari situ mereka dapat meraihkan puncak kesuksesan, yaitu surga Allah jalla wa ‘ala.
Dalam membina kehidupan rumah tangga ini, pemimpin harus bertindak sebagai pemimpin dan bawahan harus berlaku sebagai bawahan.
Tetapi, bukan berarti seorang istri tidak memiliki peran sama sekali. Justru istri memiliki peran yang sangat besar. Yaitu mendukung suami dalam setiap keputusan baik yang dibuatnya serta membantunya.
Istrilah yang tetap berdiri di samping suami dalam menghadapi kondisi-kondisi yang sulit.
Istrilah yang mendidik anak-anak dan memperhatikan keadaan mereka.
Istrilah yang menjadi sumber kedamaian dan ketenangan bagi suaminya.
Waspadalah!
Jangan hiraukan propaganda orang di luar Islam, yang berusaha mengangkat slogan emansipasi wanita, isu gender dan yang semisal. Sebab sejatinya mereka sedang berusaha keras menjauhkan para istri dari rumah, sehingga tugas utamanya dalam rumah tangga terbengkalai. Akibatnya anak-anak akan rusak, dan itu berujung kepada hancurnya umat Islam. Wallâhul musta’ân…
Saudariku…
Di antara kunci sukses membina rumah tangga:
3. Rebut hati suami dengan bersegera menaatinya
Sebuah kata hikmah menyebutkan, “Sebaik-baik istri adalah yang taat, pencinta, bijak, subur lagi penyayang, pendek lisan (tidak cerewet) dan mudah di atur”.
Wahai para istri, ketaatanmu kepada suami dalam hal yang baik akan mengangkat derajatmu di sisi Allah ta’ala. Sebagaimana dijelaskan Rasulullah shallallahu’alaihiwasallam dalam sabdanya,
“إِذَا صَلَّتْ الْمَرْأَةُ خَمْسَهَا، وَصَامَتْ شَهْرَهَا، وَحَفِظَتْ فَرْجَهَا، وَأَطَاعَتْ زَوْجَهَا؛ قِيلَ لَهَا ادْخُلِي الْجَنَّةَ مِنْ أَيِّ أَبْوَابِ الْجَنَّةِ شِئْتِ”.
“Jika seorang wanita menunaikan shalat lima waktu, berpuasa di bulan Ramadhan, menjaga kemaluannya dan menaati suaminya; niscaya akan dikatakan padanya: “Masuklah ke dalam surga dari pintu manapun yang kau mau”. HR. Ahmad dari Abdurrahman bin ‘Aufradhiyallahu’anhu dan dinyatakan hasan oleh Syaikh al-Albany.
Ketaatanmu kepada suami akan mendatangkan kebahagiaan dan ketenangan bagimu. Sebab, suamimu pasti akan akan sangat gembira tatkala melihatmu bersegera menaatinya, tidak bermalas-malasan dalam menunaikan apa yang dikendakinya, sehingga iapun terdorong pula untuk menaatimu dan menuruti keinginanmu yang syar’i.
Seorang ibu pernah menasehati putrinya di hari pernikahannya, “Jadilah engkau seperti budak bagi suamimu, niscaya ia pun akan menjadi seperti budak bagi dirimu”.
Mungkin sekali setan akan membisikkan, “Aku juga punya harga diri!”. Apalagi manakala ada masalah di antara kalian berdua. Lalu bisikan tersebut mendorongmu untuk enggan mengakui kesalahanmu.
Sadarlah, harga diri apakah yang harus dipertahankan antara sepasang suami istri? Sesungguhnya  harga diri mereka adalah satu. Permohonan maafmu kepada suami sama sekali tidak akan mengurangi harga dirimu. Justru, sebaliknya akan menambah kehormatan dan harga dirimu di mata suami. Bahkan permintaan maafmu –sekalipun sebenarnya engkau tidak bersalah– insyaAllah akan membuatnya malu terhadap dirinya sendiri. Dan akan menjadikannya insaf, sadar dan mengoreksi diri.
Selamat mencoba!

[1]   Diringkas -dengan berbagai tambahan- dari buku “Surat Terbuka untuk Para Istri” karya Ummu Ihsan dan Abu Ihsan, penerbit Pustaka Darul Ilmi, Bogor (hal. 65-68).
[2]   Diadaptasi dari makalah berjudul “Mengenal type sifat suami dan solusi menghadapinya”sebagaimana dalam http://falahlugmanulhakiem.wordpress.com.
[3]   “Mengenal type sifat suami dan solusi menghadapinya”,http://falahlugmanulhakiem.wordpress.com dengan berbagi perubahan.
[4]   Diringkas -dengan berbagai tambahan- dari buku “Surat Terbuka untuk Para Istri” karya Ummu Ihsan dan Abu Ihsan, penerbit Pustaka Darul Ilmi, Bogor (hal. 68-72).
[5]   Diringkas -dengan sedikit perubahan- dari buku “Surat Terbuka untuk Para Istri” karya Ummu Ihsan dan Abu Ihsan, penerbit Pustaka Darul Ilmi, Bogor (hal. 72-74).
[6]   Dinukil dari buku “Surat Terbuka untuk Para Istri” karya Ummu Ihsan dan Abu Ihsan, penerbit Pustaka Darul Ilmi, Bogor (hal. 81-83).

Jumat, 01 November 2013

Ikhtilaf Ulama' Mengenai Gerakan Sholat (1)

TAKBIRATUL IHRAM

Mengganti ucapan Allahu Akbar
Sebagian ulama, semisal Imam Abu Hanifah dan Imam Asy Syafi’i, menganggapnya sah. Imam Syafi’i menyatakan bahwa alif lam dalam lafadz tersebut (Allahul akbar) hanya tambahan tidak mengubah lafadz dan makna (Shifatu Shalatin Nabi, 58). Adapun bagi orang non-arab yang kesulitan atau tidak bisa melafalkan takbir,
sebagian ulama seperti Syafi’iyyah, Hanabilah, Abu Yusuf membolehkan pelafalan takbir dengan bahasa lain. Sebagian ulama seperti Malikiyyah dan Al Qadhi Abu Ya’la berpendapat bahwa gugur baginya kewajiban takbiratul ihram.

Ukuran Suara Takbir
Sebagian ulama seperti Hanabilah mempersyaratkan demikian, yaitu suara takbir dapat didengar oleh sebelahnya atau minimal dapat didengar oleh si pengucap sendiri (Syarhul Mumthi’, 3/20).
Syaikh Al Utsaimin mengatakan: “Yang benar, tidak dipersyaratkan seseorang dapat mendengar suara takbirnya. Karena terdengarnya takbir itu zaaid (objek eksternal) dari pengucapan. Maka bagi yang meng-klaim bahwa hal ini diwajibkan, wajib mendatangkan dalil” (Syarhul Mumthi’, 3/20).

Menggerakkan bibir saat mengucapkan Allahu Akbar bagi Orang Bisu
Sebagian ulama seperti Syafi’iyyah tetap mewajibkan menggerakkan bibir, karena yang dinamakan al qaul dalam bahasa arab, itu disertai dengan gerakan bibir. Dan jika seseorang terhalang untuk bertakbir secara sempurna, maka wajib baginya bertakbir sesuai kemampuan yang ia miliki, termasuk menggerakkan bibir.
Sebagian ulama seperti Malikiyyah, Hanabilah dan Hanafiyyah tidak mewajibkan, karena gerakan bibir bukanlah tujuan namun sarana atau wasilah untuk mengucapkan takbir. Sehingga ketika seseorang terhalang untuk melakukan pengucapan, maka gugur pula sarananya. Dan sekedar gerakan bibir itu tidak teranggap dalam syari’at (Syarhul Mumthi’, 3/20, Mausu’ah Fiqhiyyah Kuwaitiyyah, 19/92).

Hukum Mengangkat Kedua Tangan
Sebagian ulama mengatakan hukumnya wajib, seperti Al Auza’i, Al Humaidi, Ibnu Khuzaimah dan Al Hakim.
Ibnul Mundzir telah menukil ijma ulama bahwa mengangkat tangan ketika takbiratul ihram itu hukumnya sunnah (Shifatu Shalatin Nabi, 63-67)

Takbir dulu atau Angkat Tangan dulu
Menurut Malikiyyah dan Syafi’iyyah, takbir berbarengan dengan mengangkat tangan.
Hanafiyyah dan salah satu pendapat Syafi’iyyah, mengangkat tangan itu sebelum takbir.
Sebagian ulama Hanafiyah juga berpendapat mengangkat tangan itu setelah takbir.


BERSEDEKAP

Letak sedekap
Tidak ada ketentuannya: Madzhab Hanafi dan Hambali berpendapat bahwa letak sedekap adalah di bawah pusar. Ibnul Qoyyim menyebutkan riwayat dari Imam Ahmad bahwa beliau bersedekap di atas pusarnya, atau tepat di pusarnya, atau di bawah pusarnya. Semua ini menurut Ibnul Qoyyim bebas dipilih.
Ada ketentuannya : Syafi’iyyah dan Malikiyyah berpendapat di bawah dada dan di atas pusar. Pendapat bersedekap persis di atas dada dikuatkan oleh Syaikh Muhammad bin Shalih Al Utsaimin dan juga Syaikh Al Albani rahimahumallah.

Baca penjelasan lengkapnya di http://muslim.or.id/fiqh-dan-muamalah/tata-cara-bersedekap-dalam-shalat.html dan pendahuluan edisi revisi, sifat sholat nabi, hal 24-29, media hidayah, dsb)

Kebodohan Kita terhadap Makna Kalimat Tauhid

At Tauhid edisi V/8

Oleh: M. Saifudin Hakim

Masih terngiang-ngiang dalam ingatan kita ketika dulu zaman masih sekolah SD atau SMP, kita diajarkan bahwa makna kalimat tauhid “laa ilaaha illallah” adalah “Tidak ada Tuhan selain Allah”. Inilah makna yang selama ini terpatri dalam hati sanubari kita tanpa sedikit pun kita berfikir tentang kebenaran makna tersebut. Karena memang itulah yang diajarkan oleh guru-guru kita pada saat masih sekolah dulu. Kesalahfahaman ini tidak hanya dialami oleh masyarakat awam, bahkan orang-orang yang dikenal sebagai “cendekiawan” muslim pun salah faham tentang makna kalimat tauhid ini. Buktinya, di antara mereka ada yang mengartikan “laa ilaaha illallah” sebagai “Tidak ada tuhan (“t” kecil) selain Tuhan (“t” besar)”.

Untuk Apa Membahas Makna Kalimat Tauhid?

Perlu digarisbawahi bahwa kalimat “laa ilaaha illallah” yang diucapkan oleh seseorang tidak akan bermanfaat kecuali dengan memenuhi seluruh syarat dan rukunnya serta mengamalkan konsekuensinya. Hal ini seperti ibadah shalat yang tidak akan sah kecuali dengan memenuhi syarat dan rukunnya, serta tidak melakukan pembatal shalat. Di antara syarat “laa ilaaha illallah” yang harus dipenuhi adalah seseorang harus mengetahui makna kalimat tersebut.

Allah Ta’ala berfirman yang artinya, “Maka ketahuilah, bahwa sesungguhnya tidak ada sesembahan yang benar selain Allah” (QS. Muhammad [47]: 19). Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Barangsiapa mati dalam keadaan mengetahui bahwa tidak ada sesembahan yang benar kecuali Allah, maka dia akan masuk surga” (HR. Muslim).

Dari dalil-dalil dari Al Qur’an dan As-Sunnah tersebut, para ulama rahimahullah menyimpulkan bahwa salah satu syarat sah “laa ilaaha illallah” adalah seseorang mengetahui makna “laa ilaaha illallah” dengan benar.

Tidak Ada “Tuhan” selain Allah

“Tidak ada Tuhan selain Allah” merupakan makna kalimat “laa ilaaha illallah” yang populer di kalangan kaum muslimin. Dalam hal ini, kata “ilah” diartikan dengan kata “Tuhan”. Namun perlu diketahui bahwa kata “Tuhan” dalam bahasa Indonesia memiliki dua makna. Pertama, kata “Tuhan” yang identik dengan pencipta, pengatur, penguasa alam semesta, pemberi rizki, yang menghidupkan, yang mematikan, dan yang dapat memberikan manfaat atau mendatangkan madharat. Kedua, kata “Tuhan” yang berarti sesembahan. Yaitu sesuatu yang menjadi tujuan segala jenis aktivitas ibadah.

Karena terdapat dua makna untuk kata “Tuhan”, maka kalimat “Tidak ada Tuhan selain Allah” juga memiliki dua pengertian. Pengertian pertama, “Tidak ada pencipta, pemberi rizki, dan pengatur alam semesta selain Allah”. Pengertian kedua, “Tidak ada sesembahan selain Allah”. Oleh karena itu, dalam pembahasan selanjutnya kita akan meninjau apakah memaknai kalimat “laa ilaaha illallah” dengan kedua pengertian tersebut sudah benar serta berdasarkan dalil-dalil dari Al Qur’an dan As-Sunnah?

Tidak Ada Pencipta, Pemberi rizki, dan Pengatur alam semesta selain Allah

Memaknai “laa ilaaha illallah” dengan “Tidak ada Tuhan selain Allah” yang berarti “Tidak ada pencipta, pemberi rizki, dan pengatur alam semesta selain Allah” adalah pemahaman yang keliru. Berikut ini kami sampaikan beberapa bukti yang menunjukkan kesalahan tersebut.

Bukti pertama, kaum musyrikin pada zaman Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pun mengakui bahwa Allah Ta’ala adalah satu-satunya Dzat Yang Menciptakan, Memberi rizki, dan Mengatur alam semesta. Hal ini dapat kita ketahui dari dalil berikut ini.

Allah Ta’ala berfirman yang artinya, “Katakanlah, ’Siapakah yang memberi rizki kepadamu dari langit dan bumi, atau siapakah yang kuasa (menciptakan) pendengaran dan penglihatan, dan siapakah yang mengeluarkan yang hidup dari yang mati dan mengeluarkan yang mati dari yang hidup, dan siapakah yang mengatur segala urusan?’ Maka mereka akan menjawab,’Allah’” (QS. Yunus [10]: 31).

Ayat di atas jelas menunjukkan bahwa kaum musyrikin pada zaman dahulu meyakini sifat-sifat rububiyyah Allah, yaitu bahwa Allah-lah satu-satunya Dzat Yang Menciptakan, Dzat Yang Memberi rizki, dan Dzat Yang Mengatur urusan alam semesta. Namun, keyakinan seperti itu ternyata belum cukup untuk memasukkan mereka ke dalam golongan orang-orang yang bertauhid. Sehingga Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pun tetap memerangi mereka, menghalalkan darah dan harta mereka meskipun mereka memiliki keyakinan seperti itu.

Oleh karena itu, apabila kalimat “laa ilaaha illallah” diartikan dengan “Tidak ada pencipta selain Allah”, “Tidak ada pemberi rizki selain Allah”, atau “Tidak ada pengatur alam semesta selain Allah”, maka apa yang membedakan antara orang-orang musyrik dan orang-orang Islam? Jika orang-orang musyrik itu masuk Islam dengan dituntut mengucapkan kalimat “laa ilaaha illallah” dengan makna seperti itu, lantas apa yang membedakan mereka ketika masih musyrik dan ketika sudah masuk Islam? Bukankah ketika mereka masih musyrik juga sudah mengakui bahwa Allah-lah satu-satunya Dzat Yang Menciptakan, Dzat Yang Memberi rizki, dan Dzat Yang Mengatur urusan alam semesta?

Bukti kedua, konsekuensi dari makna tersebut berarti kaum musyrik pada zaman Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bukanlah orang musyrik. Demikian pula, segala jenis perbuatan mereka yang menujukan ibadah kepada selain Allah Ta’ala berarti bukan syirik. Hal ini karena konsekuensi dari makna tersebut adalah seseorang tetap disebut sebagai seorang muslim meskipun dia berdoa meminta kepada para wali yang sudah mati, atau berdoa kepada Allah melalui perantaraan (tawassul) orang-orang shalih yang sudah meninggal, atau menyembelih untuk jin penunggu jembatan, selama mereka memiliki keyakinan bahwa Allah-lah satu-satunya Dzat Yang Menciptakan, Memberi rizki, dan Mengatur alam semesta. Maka sungguh, ini adalah kekeliruan yang sangat fatal. Karena ternyata makna tersebut akan membuka berbagai macam pintu kesyirikan di tengah-tengah kaum muslimin.

Tidak Ada Sesembahan selain Allah?

Makna kedua dari kalimat “Tidak ada Tuhan selain Allah” adalah “Tidak ada sesembahan selain Allah”. Namun makna ini juga tidak benar, meskipun secara bahasa (Arab) kata “ilah” memiliki makna “al-ma’bud” (sesembahan). Namun sebelumnya, perlu kita cermati bersama bahwa kalimat “Tidak ada sesembahan kecuali Allah”, artinya sama dengan “Semua sesembahan adalah Allah”. Contoh lain adalah ketika kita mengatakan, ”Tidak ada polisi kecuali memiliki pistol”. Maka artinya sama dengan, ”Semua polisi memiliki pistol”.

Meskipun makna “ilah” adalah “ma’bud” (sesembahan), namun memaknai “laa ilaaha illallah” dengan “tidak ada sesembahan selain Allah” tetap saja tidak tepat. Hal itu dapat ditunjukkan dari bukti-bukti berikut ini.

Bukti pertama, makna tersebut tidak sesuai dengan kenyataan atau realita yang sebenarnya. Bagaimana mungkin kita memaknai kalimat “laa ilaaha illallah” dengan “tidak ada sesembahan selain Allah”, padahal realita menunjukkan bahwa terdapat sesembahan yang lain di samping Allah? Buktinya, kaum musyrikin pada zaman Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam memiliki sesembahan yang bermacam-macam. Di antara mereka ada yang menyembah malaikat, ada yang menyembah Nabi dan orang-orang shalih, ada yang menyembah matahari dan bulan, serta ada pula yang menyembah batu dan pohon. (Lihat Syarh Al Qowa’idul Arba’, hal. 25).

Bahkan dalam banyak ayat pula Allah Ta’ala menyebut sesembahan orang-orang musyrik sebagai “ilah”. Di antaranya adalah firman Allah Ta’ala, “Mereka mengambil sesembahan-sesembahan selain Allah, agar mereka mendapat pertolongan” (QS. Yasin [36]: 73). Kesimpulannya, memaknai “laa ilaaha illallah” dengan “tidak ada sesembahan selain Allah” adalah tidak tepat karena realita menunjukkan bahwa di dunia ini terdapat sesembahan-sesembahan yang lain selain Allah Ta’ala. Bahkan Allah sendiri mengakui bahwa memang terdapat sesembahan selain Dia.

Bukti kedua, kalimat “tidak ada sesembahan kecuali Allah” menimbulkan konsekuensi yang sangat berbahaya. Karena konsekuensi kalimat itu menunjukkan bahwa semua sesembahan orang musyrik adalah Allah.

Kekeliruan makna “tidak ada sesembahan kecuali Allah” juga dapat dilihat dari konsekuensi yang ditimbulkan oleh makna tersebut. Karena kalimat “tidak ada sesembahan kecuali Allah”, berarti “semua sesembahan yang ada di alam semesta ini adalah Allah”. Maka Isa bin Maryam adalah Allah, karena dia adalah sesembahan orang-orang Nasrani. Wadd, Suwa, Yaghuts, Ya’uq, Nasr, Latta, Uzza, dan Manat semuanya adalah Allah, karena mereka adalah sesembahan kaum musyrikin pada zaman dahulu. Para wali yang dijadikan sebagai perantara dalam berdoa kepada Allah adalah Allah juga, karena mereka merupakan sesembahan para penyembah kubur.

Maka jelaslah, bahwa makna “tidak ada sesembahan selain Allah” menimbulkan konsekuensi yang sangat batil. Konsekuensi pertama, Allah itu tidak hanya satu, namun berbilang sebanyak jumlah bilangan sesembahan yang ada di muka bumi ini. Sedangkan konsekuensi batil yang kedua, bahwa Allah Ta’ala telah menyatu dengan sesembahan-sesembahan tersebut (aqidah wihdatul wujud atau manunggaling kawula-Gusti).

Makna Kalimat “Laa ilaaha illallah” yang Tepat

Syaikh Al-‘Allamah Hafidz bin Ahmad Al-Hakami rahimahullah berkata, ”Makna kalimat “laa ilaaha illallah” adalah “laa ma’buuda bi haqqin illallah” [tidak ada sesembahan yang berhak disembah kecuali Allah]. Kalimat “laa ilaaha” bermakna meniadakan seluruh sesembahan selain Allah. Maka tidak ada yang berhak untuk disembah kecuali Allah (“illallah”). Sehingga kalimat “illallah” bermakna menetapkan segala jenis ibadah hanya kepada Allah Ta’ala semata. Dia-lah sesembahan yang haq (yang benar) dan yang berhak untuk diibadahi” (Lihat Ma’arijul Qobul, 2/516).

Berdasarkan penjelasan beliau rahimahullah tersebut, maka makna yang tepat dari kalimat “laa ilaaha illallah” adalah “tidak ada sesembahan yang berhak disembah kecuali Allah”. Ditambahkannya kalimat “yang berhak disembah” ini dapat ditinjau dari dua sisi. Pertama, kenyataan menunjukkan bahwa banyak sekali sesembahan-sesembahan selain Allah Ta’ala di muka bumi ini. Akan tetapi, dari sekian banyak sesembahan tersebut, yang berhak untuk disembah hanyalah Allah Ta’ala semata. Dalilnya adalah firman Allah Ta’ala yang artinya, “Demikianlah, karena sesungguhnya Allah, Dia-lah (sesembahan) yang haq (benar). Dan sesungguhnya apa saja yang mereka sembah selain Allah itulah (sesembahan) yang batil” (QS. Luqman [30]: 31).

Kedua, dari sisi kaidah bahasa Arab pada kalimat “laa ilaaha illallah” memang ada satu kata yang dibuang, yaitu “haqqun”. Sehingga kalimat lengkap dari kalimat tauhid tersebut sebenarnya adalah “laa ilaaha haqqun illallah” yang berarti “tidak ada sesembahan yang haq (atau yang berhak disembah) selain Allah”. Kalau ada yang bertanya, ”Mengapa ada kata yang dibuang?” Maka jawabannya adalah karena kaidah bahasa Arab menuntut agar kalimat tersebut disampaikan secara ringkas, namun dapat difahami oleh setiap orang yang mendengarnya. Meskipun kata “haqqun” dibuang, namun orang-orang musyrik jahiliyyah dahulu telah memahami bahwa ada satu kata yang dibuang (yaitu “haqqun”) dengan hanya mendengar kalimat “laa ilaaha illallah”. Karena bagaimanapun, orang-orang musyrik jahiliyyah adalah masyarakat yang fasih dalam berbahasa Arab. (Lihat At-Tamhiid, hal. 77-78)

Demikianlah pembahasan tentang makna yang benar dari kalimat tauhid. Semoga dengan pembahasan yang singkat ini dapat mengangkat sedikit di antara kebodohan diri kita tentang agama ini. Dan sungguh, memahami kalimat tauhid merupakan salah satu nikmat Allah Ta’ala yang sangat besar bagi hamba-Nya. Sufyan bin ‘Uyainah rahimahullah berkata, “Tidaklah Allah Ta’ala memberikan nikmat kepada seorang hamba dengan suatu nikmat yang lebih agung dari nikmat diberikan pemahaman terhadap kalimat ‘laa ilaaha illallah’”. [M. Saifudin Hakim]