At Tauhid edisi V/8
Oleh: M. Saifudin Hakim
Masih terngiang-ngiang dalam ingatan kita ketika dulu zaman
masih sekolah SD atau SMP, kita diajarkan bahwa makna kalimat tauhid “laa
ilaaha illallah” adalah “Tidak ada Tuhan selain Allah”. Inilah makna yang
selama ini terpatri dalam hati sanubari kita tanpa sedikit pun kita berfikir
tentang kebenaran makna tersebut. Karena memang itulah yang diajarkan oleh
guru-guru kita pada saat masih sekolah dulu. Kesalahfahaman ini tidak hanya
dialami oleh masyarakat awam, bahkan orang-orang yang dikenal sebagai
“cendekiawan” muslim pun salah faham tentang makna kalimat tauhid ini.
Buktinya, di antara mereka ada yang mengartikan “laa ilaaha illallah” sebagai
“Tidak ada tuhan (“t” kecil) selain Tuhan (“t” besar)”.
Untuk Apa Membahas Makna Kalimat Tauhid?
Perlu digarisbawahi bahwa kalimat “laa ilaaha illallah” yang
diucapkan oleh seseorang tidak akan bermanfaat kecuali dengan memenuhi seluruh
syarat dan rukunnya serta mengamalkan konsekuensinya. Hal ini seperti ibadah
shalat yang tidak akan sah kecuali dengan memenuhi syarat dan rukunnya, serta
tidak melakukan pembatal shalat. Di antara syarat “laa ilaaha illallah” yang
harus dipenuhi adalah seseorang harus mengetahui makna kalimat tersebut.
Allah Ta’ala berfirman yang artinya, “Maka ketahuilah, bahwa
sesungguhnya tidak ada sesembahan yang benar selain Allah” (QS. Muhammad [47]:
19). Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Barangsiapa mati dalam
keadaan mengetahui bahwa tidak ada sesembahan yang benar kecuali Allah, maka dia
akan masuk surga” (HR. Muslim).
Dari dalil-dalil dari Al Qur’an dan As-Sunnah tersebut, para
ulama rahimahullah menyimpulkan bahwa salah satu syarat sah “laa ilaaha
illallah” adalah seseorang mengetahui makna “laa ilaaha illallah” dengan benar.
Tidak Ada “Tuhan” selain Allah
“Tidak ada Tuhan selain Allah” merupakan makna kalimat “laa
ilaaha illallah” yang populer di kalangan kaum muslimin. Dalam hal ini, kata
“ilah” diartikan dengan kata “Tuhan”. Namun perlu diketahui bahwa kata “Tuhan”
dalam bahasa Indonesia memiliki dua makna. Pertama, kata “Tuhan” yang identik
dengan pencipta, pengatur, penguasa alam semesta, pemberi rizki, yang
menghidupkan, yang mematikan, dan yang dapat memberikan manfaat atau
mendatangkan madharat. Kedua, kata “Tuhan” yang berarti sesembahan. Yaitu
sesuatu yang menjadi tujuan segala jenis aktivitas ibadah.
Karena terdapat dua makna untuk kata “Tuhan”, maka kalimat
“Tidak ada Tuhan selain Allah” juga memiliki dua pengertian. Pengertian
pertama, “Tidak ada pencipta, pemberi rizki, dan pengatur alam semesta selain
Allah”. Pengertian kedua, “Tidak ada sesembahan selain Allah”. Oleh karena itu,
dalam pembahasan selanjutnya kita akan meninjau apakah memaknai kalimat “laa
ilaaha illallah” dengan kedua pengertian tersebut sudah benar serta berdasarkan
dalil-dalil dari Al Qur’an dan As-Sunnah?
Tidak Ada Pencipta, Pemberi rizki, dan Pengatur alam semesta
selain Allah
Memaknai “laa ilaaha illallah” dengan “Tidak ada Tuhan
selain Allah” yang berarti “Tidak ada pencipta, pemberi rizki, dan pengatur
alam semesta selain Allah” adalah pemahaman yang keliru. Berikut ini kami
sampaikan beberapa bukti yang menunjukkan kesalahan tersebut.
Bukti pertama, kaum musyrikin pada zaman Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wa sallam pun mengakui bahwa Allah Ta’ala adalah
satu-satunya Dzat Yang Menciptakan, Memberi rizki, dan Mengatur alam semesta.
Hal ini dapat kita ketahui dari dalil berikut ini.
Allah Ta’ala berfirman yang artinya, “Katakanlah, ’Siapakah
yang memberi rizki kepadamu dari langit dan bumi, atau siapakah yang kuasa
(menciptakan) pendengaran dan penglihatan, dan siapakah yang mengeluarkan yang
hidup dari yang mati dan mengeluarkan yang mati dari yang hidup, dan siapakah
yang mengatur segala urusan?’ Maka mereka akan menjawab,’Allah’” (QS. Yunus
[10]: 31).
Ayat di atas jelas menunjukkan bahwa kaum musyrikin pada
zaman dahulu meyakini sifat-sifat rububiyyah Allah, yaitu bahwa Allah-lah
satu-satunya Dzat Yang Menciptakan, Dzat Yang Memberi rizki, dan Dzat Yang
Mengatur urusan alam semesta. Namun, keyakinan seperti itu ternyata belum cukup
untuk memasukkan mereka ke dalam golongan orang-orang yang bertauhid. Sehingga
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pun tetap memerangi mereka,
menghalalkan darah dan harta mereka meskipun mereka memiliki keyakinan seperti
itu.
Oleh karena itu, apabila kalimat “laa ilaaha illallah”
diartikan dengan “Tidak ada pencipta selain Allah”, “Tidak ada pemberi rizki
selain Allah”, atau “Tidak ada pengatur alam semesta selain Allah”, maka apa
yang membedakan antara orang-orang musyrik dan orang-orang Islam? Jika
orang-orang musyrik itu masuk Islam dengan dituntut mengucapkan kalimat “laa
ilaaha illallah” dengan makna seperti itu, lantas apa yang membedakan mereka
ketika masih musyrik dan ketika sudah masuk Islam? Bukankah ketika mereka masih
musyrik juga sudah mengakui bahwa Allah-lah satu-satunya Dzat Yang Menciptakan,
Dzat Yang Memberi rizki, dan Dzat Yang Mengatur urusan alam semesta?
Bukti kedua, konsekuensi dari makna tersebut berarti kaum
musyrik pada zaman Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bukanlah orang
musyrik. Demikian pula, segala jenis perbuatan mereka yang menujukan ibadah
kepada selain Allah Ta’ala berarti bukan syirik. Hal ini karena konsekuensi
dari makna tersebut adalah seseorang tetap disebut sebagai seorang muslim
meskipun dia berdoa meminta kepada para wali yang sudah mati, atau berdoa
kepada Allah melalui perantaraan (tawassul) orang-orang shalih yang sudah
meninggal, atau menyembelih untuk jin penunggu jembatan, selama mereka memiliki
keyakinan bahwa Allah-lah satu-satunya Dzat Yang Menciptakan, Memberi rizki,
dan Mengatur alam semesta. Maka sungguh, ini adalah kekeliruan yang sangat
fatal. Karena ternyata makna tersebut akan membuka berbagai macam pintu
kesyirikan di tengah-tengah kaum muslimin.
Tidak Ada Sesembahan selain Allah?
Makna kedua dari kalimat “Tidak ada Tuhan selain Allah”
adalah “Tidak ada sesembahan selain Allah”. Namun makna ini juga tidak benar,
meskipun secara bahasa (Arab) kata “ilah” memiliki makna “al-ma’bud”
(sesembahan). Namun sebelumnya, perlu kita cermati bersama bahwa kalimat “Tidak
ada sesembahan kecuali Allah”, artinya sama dengan “Semua sesembahan adalah
Allah”. Contoh lain adalah ketika kita mengatakan, ”Tidak ada polisi kecuali
memiliki pistol”. Maka artinya sama dengan, ”Semua polisi memiliki pistol”.
Meskipun makna “ilah” adalah “ma’bud” (sesembahan), namun
memaknai “laa ilaaha illallah” dengan “tidak ada sesembahan selain Allah” tetap
saja tidak tepat. Hal itu dapat ditunjukkan dari bukti-bukti berikut ini.
Bukti pertama, makna tersebut tidak sesuai dengan kenyataan
atau realita yang sebenarnya. Bagaimana mungkin kita memaknai kalimat “laa
ilaaha illallah” dengan “tidak ada sesembahan selain Allah”, padahal realita
menunjukkan bahwa terdapat sesembahan yang lain di samping Allah? Buktinya,
kaum musyrikin pada zaman Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam memiliki
sesembahan yang bermacam-macam. Di antara mereka ada yang menyembah malaikat,
ada yang menyembah Nabi dan orang-orang shalih, ada yang menyembah matahari dan
bulan, serta ada pula yang menyembah batu dan pohon. (Lihat Syarh Al Qowa’idul
Arba’, hal. 25).
Bahkan dalam banyak ayat pula Allah Ta’ala menyebut
sesembahan orang-orang musyrik sebagai “ilah”. Di antaranya adalah firman Allah
Ta’ala, “Mereka mengambil sesembahan-sesembahan selain Allah, agar mereka
mendapat pertolongan” (QS. Yasin [36]: 73). Kesimpulannya, memaknai “laa ilaaha
illallah” dengan “tidak ada sesembahan selain Allah” adalah tidak tepat karena
realita menunjukkan bahwa di dunia ini terdapat sesembahan-sesembahan yang lain
selain Allah Ta’ala. Bahkan Allah sendiri mengakui bahwa memang terdapat
sesembahan selain Dia.
Bukti kedua, kalimat “tidak ada sesembahan kecuali Allah”
menimbulkan konsekuensi yang sangat berbahaya. Karena konsekuensi kalimat itu
menunjukkan bahwa semua sesembahan orang musyrik adalah Allah.
Kekeliruan makna “tidak ada sesembahan kecuali Allah” juga
dapat dilihat dari konsekuensi yang ditimbulkan oleh makna tersebut. Karena
kalimat “tidak ada sesembahan kecuali Allah”, berarti “semua sesembahan yang
ada di alam semesta ini adalah Allah”. Maka Isa bin Maryam adalah Allah, karena
dia adalah sesembahan orang-orang Nasrani. Wadd, Suwa, Yaghuts, Ya’uq, Nasr,
Latta, Uzza, dan Manat semuanya adalah Allah, karena mereka adalah sesembahan
kaum musyrikin pada zaman dahulu. Para wali yang dijadikan sebagai perantara
dalam berdoa kepada Allah adalah Allah juga, karena mereka merupakan sesembahan
para penyembah kubur.
Maka jelaslah, bahwa makna “tidak ada sesembahan selain
Allah” menimbulkan konsekuensi yang sangat batil. Konsekuensi pertama, Allah
itu tidak hanya satu, namun berbilang sebanyak jumlah bilangan sesembahan yang ada
di muka bumi ini. Sedangkan konsekuensi batil yang kedua, bahwa Allah Ta’ala
telah menyatu dengan sesembahan-sesembahan tersebut (aqidah wihdatul wujud atau
manunggaling kawula-Gusti).
Makna Kalimat “Laa ilaaha illallah” yang Tepat
Syaikh Al-‘Allamah Hafidz bin Ahmad Al-Hakami rahimahullah
berkata, ”Makna kalimat “laa ilaaha illallah” adalah “laa ma’buuda bi haqqin
illallah” [tidak ada sesembahan yang berhak disembah kecuali Allah]. Kalimat
“laa ilaaha” bermakna meniadakan seluruh sesembahan selain Allah. Maka tidak
ada yang berhak untuk disembah kecuali Allah (“illallah”). Sehingga kalimat
“illallah” bermakna menetapkan segala jenis ibadah hanya kepada Allah Ta’ala
semata. Dia-lah sesembahan yang haq (yang benar) dan yang berhak untuk
diibadahi” (Lihat Ma’arijul Qobul, 2/516).
Berdasarkan penjelasan beliau rahimahullah tersebut, maka
makna yang tepat dari kalimat “laa ilaaha illallah” adalah “tidak ada
sesembahan yang berhak disembah kecuali Allah”. Ditambahkannya kalimat “yang
berhak disembah” ini dapat ditinjau dari dua sisi. Pertama, kenyataan
menunjukkan bahwa banyak sekali sesembahan-sesembahan selain Allah Ta’ala di
muka bumi ini. Akan tetapi, dari sekian banyak sesembahan tersebut, yang berhak
untuk disembah hanyalah Allah Ta’ala semata. Dalilnya adalah firman Allah
Ta’ala yang artinya, “Demikianlah, karena sesungguhnya Allah, Dia-lah
(sesembahan) yang haq (benar). Dan sesungguhnya apa saja yang mereka sembah
selain Allah itulah (sesembahan) yang batil” (QS. Luqman [30]: 31).
Kedua, dari sisi kaidah bahasa Arab pada kalimat “laa ilaaha
illallah” memang ada satu kata yang dibuang, yaitu “haqqun”. Sehingga kalimat
lengkap dari kalimat tauhid tersebut sebenarnya adalah “laa ilaaha haqqun
illallah” yang berarti “tidak ada sesembahan yang haq (atau yang berhak
disembah) selain Allah”. Kalau ada yang bertanya, ”Mengapa ada kata yang
dibuang?” Maka jawabannya adalah karena kaidah bahasa Arab menuntut agar
kalimat tersebut disampaikan secara ringkas, namun dapat difahami oleh setiap
orang yang mendengarnya. Meskipun kata “haqqun” dibuang, namun orang-orang
musyrik jahiliyyah dahulu telah memahami bahwa ada satu kata yang dibuang
(yaitu “haqqun”) dengan hanya mendengar kalimat “laa ilaaha illallah”. Karena
bagaimanapun, orang-orang musyrik jahiliyyah adalah masyarakat yang fasih dalam
berbahasa Arab. (Lihat At-Tamhiid, hal. 77-78)
Demikianlah pembahasan tentang makna yang benar dari kalimat
tauhid. Semoga dengan pembahasan yang singkat ini dapat mengangkat sedikit di
antara kebodohan diri kita tentang agama ini. Dan sungguh, memahami kalimat
tauhid merupakan salah satu nikmat Allah Ta’ala yang sangat besar bagi
hamba-Nya. Sufyan bin ‘Uyainah rahimahullah berkata, “Tidaklah Allah Ta’ala
memberikan nikmat kepada seorang hamba dengan suatu nikmat yang lebih agung
dari nikmat diberikan pemahaman terhadap kalimat ‘laa ilaaha illallah’”. [M.
Saifudin Hakim]
Tidak ada komentar:
Posting Komentar