Senin, 17 Februari 2014

Belajar Tega! Anakku Bisa kok Makan Sendiri



“Melatih Kemandirian Anak” suara penuh energi positif menggema di ruang colourfull kampus Institut Ibu Profesional Salatiga. Dosen favoritku Bunda Septi Peni Wulandani, membacakan judul kuliah. Sontak adrenalinku memuncak, duhai Robb berapa nilai ku untuk mata ujian “Kemandirian Anak”? JEBLOK ZA! seperti ada teriakan di sekelilingku. Okey aku wajib pasang telinga, menghadirkan seluruh hati, jiwa dan pikiran untuk menyerap semaksimal mungkin kuliah pagi itu.

Materi demi materi kemandirian anak mengalir membasuh kehausanku akan ilmu. Terkadang aku tersenyum, merengut, marah mengutuki diriku sendiri, kadang juga aku ng’ayem-ayem’i ati “Semoga Alloh masih sudi memberi kesempatan tuk mendongkrak nilaiku di mata uji yang ini”. Tunduk ku dalam doa yang penuh harap.

“Saat memberi kuliah umum di kota J ada seorang ibu dengan anak usia satu tahun, sibuk sekali menyuapi anaknya. lalu saya tanya ‘kenapa mbak anaknya disuapin coba dilatih makan sendiri, insyaalloh bisa!” Bunda Septi Peni melontarkan sebuah challenge tuk ibu tersebut.

Plaaaak!!!! Aduhaaii… rasanya bagai sebuah tamparan baru saja mendarat di wajah saya.

Wajah anakku (4 tahun) yang sedang merengek “Ummi suapiiiiin” tiba-tiba hadir dihadapan. bagaimana ini? berarti tak sekedar JEBLOK dong nilaiku, tapi lebih buruk dari itu.

Di akhir sesi kuliah kusempatkan melontarkan pertanyaan tuk semakin memantapkan langkahku. Aku pulang membawa setumpuk rencana yang berpendar-pendar memenuhi pikiran. Tak sabar ingin segera bertemu anak semata wayangku, Raihan. Ingin segera kusampaikan kepadanya “Nak, mulai sekarang kita akan berjuang bersama untuk membentuk kemandirianmu dan mengalahkan ego ummi. Kita ini tim yang hebat nak, kita harus kompak agar tim kita menang dan lulus ujian!!”

========================

Hari itu juga, mulai kujalankan startegi perjuangan. Menegaskan pada anakku bahwa mulai sekarang “NO SUAP-SUAPAN LAGI”. Setiap anakku menjelang tidur dan bangun kubisikkan pesan cinta hipnoparenting ”Raihan anak hebat sudah besar, pintar makan sendiri, makan sendiri itu menyenangkan, makan sendiri itu disayang Alloh dan abi-ummi”. Sambil kupandangi wajah teduh anakku, dan kuiringi doa tiada putus. Seringkali entah sadar atau tidak, anakku menggangguk dalam tidurnya. Semoga engkau menerima dengan baik pesan cinta ini nak. Teruuus kumasukan ke alam bawah sadarnya misi perjuangan ini.

Ketika pagi sampai malam sebelum jam makan kusampaikan pada anakku, “nak, nanti kita makan bareng ya, tapi makan sendiri-sendiri. kan asik tuh”.

Saat jam makan dan anakku mulai lapar ternyata perjuangan tak semulus impian. ”Aku belum lapar”, ”Aku ndak mau makan mii.. aku maunya disuapin sambil main”, “Aku ndak mau makan ini, maunya yang itu (yang tidak ada di rumah)” dan banyak lagi argumen yang dilontarkannya, intinya dia menolak makan dan merajuk untuk disuapi. Sungguh menguji kesabaranku. Apalagi tipikal anakku adalah pintar sekali berkata-kata. Kusadari benar bahwa selama ini yang paling membuatku gagal dalam ujian ini adalah KURANG SABAR. Ibu nya keburu ada acara lain atau pekerjaan rumah sudah berkali-kali misscall untuk segera disambangi ternyata anak belum mau diajak kerjasama dalam urusan makan. Akhirnya?? “Ya sudah lah sini ibu suapin, kelamaan kamu makannya” teengg doooot “YOU LOSE!”

Kali ini tidak, aku harus berusaha keras. Amunisi sabar ku stok sebanyak mungkin di karung jiwa bertulis “UJIAN KEMANDIRIAN MAKAN”. Ketika anakku mulai rewel kudampingi dia, duduk manis saja. Tidak banyak bicara. Sesekali kalau jengkelnya mereda kukatakan ”Ummi tau Raihan sudah lapar, sudah jam 2 siang lho nak. Anak hebat makan sendiri ya, menyenangkan lho”. Pernah sampai jam 3 sore ibu-ibu , anak semata wayangku itu belum juga makan. Rasanya miris melihat anakku lemas, main sambil tiduran, sesekali memanggil “Ummi.. aku pengennya disuapin ummi, aku lapar”. Hancur hatiku berkeping-keping. Hampir roboh benteng pertahananku, tapi segera amunisi ku ambil tuk menghancurkan perasaan itu “Anakku sedang berjuang mengalahkan egonya, aku harus membantunya dengan cara mengalahkan egoku”.

(Nb: disekolah anakku yang dulu, ada jam makan siang dan anakku selalu makan sendiri. Dari sini juga menjadi tambahan amunisi ku bahwa anakku memang sudah pintar makan sendiri, maka dirumah pun harusnya bisa dong)

Benar saja, menjelang sore ternyata anakku mendekati piringnya dan mulai menyendok sesuap demi sesuap makanannya. Kuganti dengan nasi yang hangat, dia lahap sekali. Sudut-sudut mataku basah. Haru..

Hari selanjutnya kuteruskan perjuanganku, mulai agak ringan bundas, hanya memang perlu sedikit lebih repot mengatur tampilan hidangan agar menarik buat anak (padahal disekolahannya dulu kalau makan siang ya sekedar nasi, sayur lauk dipiring aja. Tidak didisplay istimewa. Itu saja anakkku lahap). Tak apa, malah menambah kretifitas mengolah hidangan dan insyaalloh nambah pahala juga.

Hari kesekian, kuperhatikan anakku makin kurus kering badannya. Sedih? tentu saja. Ibu mana yang tidak ingin selalu melihat anaknya padat berisi dan menyenangkan dipandang. Jelas saja, biasanya ketika masih disuapi, aku selalu punya target seberapa makanan yang harus dimakan anakku, seberapa lauknya, seberapa sayurnya, susunya. Semua wajib habis dengan berbagai jurus andalan. “Kereta sayur mau masuk gua perut niih”, “eh si wortel nungguin temannya lobak masuk juga tuh”, “eh pak tempe masih sisa sedikit” bla bla bla.. Nah pada masa perjuangan ini kan anakku makan sendiri. Sering kulihat sayurnya disisihkan, katanya gak enak. Kadang lauknya yang disingkirkan, katanya kebanyakan. Geregetan kadang. Pengen mengintervensi makannya. Tapi sekali lagi kuingatkan diri, ini semua proses untuk menjadi lebih baik. Aku harus sabar dan menghargai prestasi anakku. Termasuk juga menghormati pilihannya. Sambil teruuus saja kuberi masukan tentang pola makan sehat.

Sampai hari ini perjuanganku sudah berlangsung selama kurleb satu bulan. Perkembangannya, anakku sudah bilang “Mi, aku mau makan di math’am sama teman-teman (gaazebo ruang makan pondok pesantren tempat kami tinggal)”. Di jam makan anakku sudah pinter bilang sendiri “Mi aku mau makan, laper”, “Mi, masak apa? nanti aku makan sama teman-teman aja yaa”. Tinggal kupantau apakan anakku sudah cukup siip dalam proses kemandirian makannya. Sudah tidak lagi kudengar rengekan “Ummi.. suapiiin”. Di saat ku ajak kuliah umum kemarin, aku sudah bebas merdeka makan sendiri, tidak ribet nyuapin anak, dan bisa leluasa sharing dengan teman-teman. Anakku, asik makan sendiri nasi gorengnya bersama teman. Indahnya….!

Allohu akbar!! Alhamdulillah. Aku bangga dengan anakku atas kekompakannya berjuang denganku melalui ujian “KEMANDIRIAN MAKAN” ini.

Sampai hari ini pun kami masih menjalani masa perjuangan itu. Ingin selalu lebih dan lebih baik lagi. Mohon doanya ya bundas..

Semakin kusadar ternyata kami bisa menjadi tim yang KOMPAK dan solid. Semoga selanjutnya  bisa melalui challenge-chellenge lain tuk meraih gelar “KELUARGA PROFESIONAL”.





Bagaimana bundas, apa CHALLENGE anda hari ini? mari berbagi inspirasi dan saling menguatkan.



Diselesaikan di Salatiga,  pagi 12 Oktober 2012 (kurleb 40 menit)

Ibu nya Raihan,






Zainab IIP Salatiga

http://roihan.wordpress.com/2012/11/24/belajar-tega-anakku-bisa-kok-makan-sendiri/

Tidak ada komentar:

Posting Komentar