“Melatih Kemandirian Anak” suara penuh energi positif
menggema di ruang colourfull kampus Institut Ibu Profesional Salatiga. Dosen
favoritku Bunda Septi Peni Wulandani, membacakan judul kuliah. Sontak
adrenalinku memuncak, duhai Robb berapa nilai ku untuk mata ujian “Kemandirian
Anak”? JEBLOK ZA! seperti ada teriakan di sekelilingku. Okey aku wajib pasang
telinga, menghadirkan seluruh hati, jiwa dan pikiran untuk menyerap semaksimal
mungkin kuliah pagi itu.
Materi demi materi kemandirian anak mengalir membasuh
kehausanku akan ilmu. Terkadang aku tersenyum, merengut, marah mengutuki diriku
sendiri, kadang juga aku ng’ayem-ayem’i ati “Semoga Alloh masih sudi memberi
kesempatan tuk mendongkrak nilaiku di mata uji yang ini”. Tunduk ku dalam doa
yang penuh harap.
“Saat memberi kuliah umum di kota J ada seorang ibu dengan
anak usia satu tahun, sibuk sekali menyuapi anaknya. lalu saya tanya ‘kenapa
mbak anaknya disuapin coba dilatih makan sendiri, insyaalloh bisa!” Bunda Septi
Peni melontarkan sebuah challenge tuk ibu tersebut.
Plaaaak!!!! Aduhaaii… rasanya bagai sebuah tamparan baru
saja mendarat di wajah saya.
Wajah anakku (4 tahun) yang sedang merengek “Ummi
suapiiiiin” tiba-tiba hadir dihadapan. bagaimana ini? berarti tak sekedar
JEBLOK dong nilaiku, tapi lebih buruk dari itu.
Di akhir sesi kuliah kusempatkan melontarkan pertanyaan tuk
semakin memantapkan langkahku. Aku pulang membawa setumpuk rencana yang
berpendar-pendar memenuhi pikiran. Tak sabar ingin segera bertemu anak semata
wayangku, Raihan. Ingin segera kusampaikan kepadanya “Nak, mulai sekarang kita
akan berjuang bersama untuk membentuk kemandirianmu dan mengalahkan ego ummi.
Kita ini tim yang hebat nak, kita harus kompak agar tim kita menang dan lulus
ujian!!”
========================
Hari itu juga, mulai kujalankan startegi perjuangan.
Menegaskan pada anakku bahwa mulai sekarang “NO SUAP-SUAPAN LAGI”. Setiap
anakku menjelang tidur dan bangun kubisikkan pesan cinta hipnoparenting ”Raihan
anak hebat sudah besar, pintar makan sendiri, makan sendiri itu menyenangkan,
makan sendiri itu disayang Alloh dan abi-ummi”. Sambil kupandangi wajah teduh
anakku, dan kuiringi doa tiada putus. Seringkali entah sadar atau tidak, anakku
menggangguk dalam tidurnya. Semoga engkau menerima dengan baik pesan cinta ini
nak. Teruuus kumasukan ke alam bawah sadarnya misi perjuangan ini.
Ketika pagi sampai malam sebelum jam makan kusampaikan pada
anakku, “nak, nanti kita makan bareng ya, tapi makan sendiri-sendiri. kan asik
tuh”.
Saat jam makan dan anakku mulai lapar ternyata perjuangan
tak semulus impian. ”Aku belum lapar”, ”Aku ndak mau makan mii.. aku maunya
disuapin sambil main”, “Aku ndak mau makan ini, maunya yang itu (yang tidak ada
di rumah)” dan banyak lagi argumen yang dilontarkannya, intinya dia menolak
makan dan merajuk untuk disuapi. Sungguh menguji kesabaranku. Apalagi tipikal
anakku adalah pintar sekali berkata-kata. Kusadari benar bahwa selama ini yang
paling membuatku gagal dalam ujian ini adalah KURANG SABAR. Ibu nya keburu ada
acara lain atau pekerjaan rumah sudah berkali-kali misscall untuk segera
disambangi ternyata anak belum mau diajak kerjasama dalam urusan makan.
Akhirnya?? “Ya sudah lah sini ibu suapin, kelamaan kamu makannya” teengg doooot
“YOU LOSE!”
Kali ini tidak, aku harus berusaha keras. Amunisi sabar ku
stok sebanyak mungkin di karung jiwa bertulis “UJIAN KEMANDIRIAN MAKAN”. Ketika
anakku mulai rewel kudampingi dia, duduk manis saja. Tidak banyak bicara.
Sesekali kalau jengkelnya mereda kukatakan ”Ummi tau Raihan sudah lapar, sudah
jam 2 siang lho nak. Anak hebat makan sendiri ya, menyenangkan lho”. Pernah
sampai jam 3 sore ibu-ibu , anak semata wayangku itu belum juga makan. Rasanya
miris melihat anakku lemas, main sambil tiduran, sesekali memanggil “Ummi.. aku
pengennya disuapin ummi, aku lapar”. Hancur hatiku berkeping-keping. Hampir
roboh benteng pertahananku, tapi segera amunisi ku ambil tuk menghancurkan
perasaan itu “Anakku sedang berjuang mengalahkan egonya, aku harus membantunya
dengan cara mengalahkan egoku”.
(Nb: disekolah anakku yang dulu, ada jam makan siang dan
anakku selalu makan sendiri. Dari sini juga menjadi tambahan amunisi ku bahwa
anakku memang sudah pintar makan sendiri, maka dirumah pun harusnya bisa dong)
Benar saja, menjelang sore ternyata anakku mendekati
piringnya dan mulai menyendok sesuap demi sesuap makanannya. Kuganti dengan
nasi yang hangat, dia lahap sekali. Sudut-sudut mataku basah. Haru..
Hari selanjutnya kuteruskan perjuanganku, mulai agak ringan
bundas, hanya memang perlu sedikit lebih repot mengatur tampilan hidangan agar
menarik buat anak (padahal disekolahannya dulu kalau makan siang ya sekedar
nasi, sayur lauk dipiring aja. Tidak didisplay istimewa. Itu saja anakkku
lahap). Tak apa, malah menambah kretifitas mengolah hidangan dan insyaalloh
nambah pahala juga.
Hari kesekian, kuperhatikan anakku makin kurus kering
badannya. Sedih? tentu saja. Ibu mana yang tidak ingin selalu melihat anaknya
padat berisi dan menyenangkan dipandang. Jelas saja, biasanya ketika masih
disuapi, aku selalu punya target seberapa makanan yang harus dimakan anakku,
seberapa lauknya, seberapa sayurnya, susunya. Semua wajib habis dengan berbagai
jurus andalan. “Kereta sayur mau masuk gua perut niih”, “eh si wortel nungguin
temannya lobak masuk juga tuh”, “eh pak tempe masih sisa sedikit” bla bla bla..
Nah pada masa perjuangan ini kan anakku makan sendiri. Sering kulihat sayurnya
disisihkan, katanya gak enak. Kadang lauknya yang disingkirkan, katanya
kebanyakan. Geregetan kadang. Pengen mengintervensi makannya. Tapi sekali lagi
kuingatkan diri, ini semua proses untuk menjadi lebih baik. Aku harus sabar dan
menghargai prestasi anakku. Termasuk juga menghormati pilihannya. Sambil
teruuus saja kuberi masukan tentang pola makan sehat.
Sampai hari ini perjuanganku sudah berlangsung selama kurleb
satu bulan. Perkembangannya, anakku sudah bilang “Mi, aku mau makan di math’am
sama teman-teman (gaazebo ruang makan pondok pesantren tempat kami tinggal)”.
Di jam makan anakku sudah pinter bilang sendiri “Mi aku mau makan, laper”, “Mi,
masak apa? nanti aku makan sama teman-teman aja yaa”. Tinggal kupantau apakan
anakku sudah cukup siip dalam proses kemandirian makannya. Sudah tidak lagi
kudengar rengekan “Ummi.. suapiiin”. Di saat ku ajak kuliah umum kemarin, aku
sudah bebas merdeka makan sendiri, tidak ribet nyuapin anak, dan bisa leluasa
sharing dengan teman-teman. Anakku, asik makan sendiri nasi gorengnya bersama
teman. Indahnya….!
Allohu akbar!! Alhamdulillah. Aku bangga dengan anakku atas
kekompakannya berjuang denganku melalui ujian “KEMANDIRIAN MAKAN” ini.
Sampai hari ini pun kami masih menjalani masa perjuangan
itu. Ingin selalu lebih dan lebih baik lagi. Mohon doanya ya bundas..
Semakin kusadar ternyata kami bisa menjadi tim yang KOMPAK
dan solid. Semoga selanjutnya bisa
melalui challenge-chellenge lain tuk meraih gelar “KELUARGA PROFESIONAL”.
Bagaimana bundas, apa CHALLENGE anda hari ini? mari berbagi
inspirasi dan saling menguatkan.
Diselesaikan di Salatiga,
pagi 12 Oktober 2012 (kurleb 40 menit)
Ibu nya Raihan,
Zainab IIP Salatiga
http://roihan.wordpress.com/2012/11/24/belajar-tega-anakku-bisa-kok-makan-sendiri/
Tidak ada komentar:
Posting Komentar