bismillah,
“Dan di antara kekuasaanNya
ialah Dia menciptakan untukmu istri-istri dari jenismu sendiri, supaya kamu
cenderung dan merasakan tenteram kepadanya, dan dijadikanNya di antaramu rasa
kasih dan sayang. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat
tanda-tanda bagi kaum yang berpikir.” (QS Ar-Rum: 21)
“Dan kawinkalah orang-orang yang
sendirian di antara kamu, dan orang-orang yang layak (berkawin) dari
hamba-hamba sahayamu yang lelaki dan hamba-hamba sahayamu yang perempuan. Jika
mereka miskin, Allah akan memampukan mereka dengan karuniaNya. Dan Allah
Mahaluas (pemberianNya) lagi Maha Mengetahui.” (QS An-Nur: 32)
As-Sa’di menjelaskan “Allah
subhanahu wata’ala memerintahkan para wali dan tuan-tuan untuk menikahkan
orang-orang yang ada dalam perwaliannya dan golongan ayama(orang-orang
yang sendirian). Mereka adalah orang-orang yang tidak mempunyai pasangan,
lelaki atau perempuan, janda atau perawan. Maka, wajib bagi kerabatnya dan wali
anak yatim itu untuk menikahkan orang yang membutuhkan pernikahan dari
orang-orang yang nefkahnya menjadi tenggungan si wali.”
Dalam hal ini manusia terbagi
menjadi dua golongan:
Pertama: Yang butuh nikah
(taa-iq ilan nikaah), ada yang punya kesiapan atau tidak. Jika butuh nikah dan
punya kesiapan, maka dianjurkan untuk menikah. Menurut ulama Syafi’iyah dan
ulama yang mumpuni lainnya, hukum nikah di sini sunnah, termasuk pula menjadi
pendapat Imam Nawawi. Dalilnya adalah firman Allah Ta’ala,
“Kawinilah wanita-wanita (lain)
yang kamu senangi” (QS. An Nisa’: 3). Di sini dikaitkan dengan yang pilihan
atau yang kita sukai dan perintah wajib tidaklah dikatakan demikian. Sedangkan
menurut Imam Ahmad, wajib menikah ketika khawatir terjatuh dalam zina.
Sedangkan yang butuh nikah
tetapi tidak mampu akan nafkah seperti mahar, maka ia tidak menikah dan
hendaklah menahan syahwatnya dengan banyak berpuasa. Jika tidak bisa tertahan
dengan cara seperti itu, maka hendaklah ia memilih untuk menikah, moga saja
Allah memberinya kecukupan dengan karunia-Nya.
Kedua: Tidak ada kebutuhan untuk
nikah (ghoirut taa-iq ilan nikaah), ada dua keadaan: (1) tidak punya kesiapan,
maka dimakruhkan untuk menikah karena jika diwajibkan sama saja membebani yang
ia tidak mampu tanpa ada kebutuhan; (2) ia mendapati kesiapan finansial untuk
menikah namun ia tidak butuh menikah, maka dimakruhkan pula untuk menikah.
(Kifayatul Akhyar, 2: 35-36).
Adapun hukum asal menikah adalah
sunnah menurut pendapat Abu Hanifah, Malik, Asy-Syafi’i, dan riwayat yang
masyhur dari mazhab Al-Imam Ahmad. Sebagaimana hal ini merupakan pendapat
mayoritas ulama, menyelisihi pendapat sekelompok ulama yang mengatakan wajib.
Mereka yang mewajibkan menikah
berdalil dengan zhahir dari sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam,
“Wahai para pemuda, barangsiapa
yang memiliki baa-ah , maka menikahlah. Karena itu lebih akan menundukkan
pandangan dan lebih menjaga kemaluan. Barangsiapa yang belum mampu, maka
berpuasalah karena puasa itu bagai obat pengekang baginya.” (HR. Bukhari no.
5065 dan Muslim no. 1400).
Dalil lainnya adalah:
Diriwayatkan oleh Imam Bukhari
dan Muslim bahwasanya telah berkata Anas bin Malik Radhiyallahu ‘anhu:
Telah datang tiga orang ke rumah
istri-istri nabi Shalallahu’alaihi Wassallam. Mereka bertanya tentang
ibadahnya, maka tatkala telah diberitahu maka seakan-akan merasa amalnya sangat
sedikit, lalu mereka berkata: “Dimana kita dibanding Rasulullah
Shalallahu’alaihi Wassallam, sungguh Allah mengampuni dosa beliau yang telah
lalu dan yang akan datang”. Maka berkata seseorang di antara mereka, “Adapun
saya, maka saya akan shalat malam selamanya”, dan berkata seorang lagi, “Aku
akan berpuasa sepanjang masa? dan yang lainnya,”Aku akan meninggalkan wanita,
tidak akan menikah?. Lalu datang Nabi Shalallahu’alaihi Wassallam, kemudian
beliau Shalallahu’alaihi Wassallam berkata:
‘Kaliankah yang telah berkata
begini dan begitu ? Demi Allah, sungguh aku adalah orang yang paling takut dan
paling taqwa dari kalian, akan tetapi aku shalat dan aku tidur, aku puasa dan
aku berbuka, dan aku menikahi wanita. Maka barang siapa yang membenci pada
sunnahku, maka dia tidak termasuk golnganku?’.” (HR. Al-Bukhari dan Muslim)
Anas bin Malik radhiyallahu
'anhu berkata, “Rasulullah shalallahu 'alaihi wa sallam memerintahkan
untuk menikah dan melarang keras untuk membujang dan berkata, “Nikahilah wanita
yang sangat penyayang dan yang mudah beranak banyak(subur) karena aku akan
berbangga dengan kalian dihadapan para nabi pada hari kiamat ” (HR Ibnu Hibban
9/338. Berkata Ibnu Hajar, “Adapun hadits “Sesungguhnya aku berbangga dengan
kalian” maka hadits tersebut shahih dari hadits Anas…dikeluarkan oleh Ibnu
Hibban dan disebutkan oleh Imam As-Syafi’i secara بلاغا (balagan) dari hadits
Ibnu Umar dengan lafal “Menikahlah dan beranak banyaklah kalian karena
sesungguhnya aku berbangga dengan (jumlah) kalian”, dan dikeluarkan oleh
Al-Baihaqi dari hadits Abu Umamah dengan lafal “Menikahlah sesungguhnya aku memebanggakan
(jumlah) kalian dihadapan umat-umat yang lain dan janganlah kalian seperti
kerahiban orang-orang Nasrani…” (Fathul Bari 9/111). Dishahihkan oleh Syaikh
Al-Albani dalam Irwa’ no 1784)
Dari Abi Dzar radhiyallahu ‘anhu
bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:
”Dan di dalam kemaluan salah
seorang di antara kalian adalah sedekah.” -Maksudnya dalam jima’nya (hubungan
intim) terhadap istrinya- Maka mereka (Sahabat) berkata:”Wahai Rasulullah!
Apakah salah seorang di antara kami mendatangi keluarganya (menunaikan
syahwatnya/jima’) dan dia mendapatkan pahala?” Maka Rasulullah shallallahu
‘alaihi wasallam berabda:”Bukankah apabila dia menunaikannya (jima’) di tempat
yang haram dia akan mendapatkan dosa?” Maka demikian juga seandainya dia menunaikannya
di tempat yang halal (istrinya) maka dia akan mendapatkan pahala.”(HR. Muslim)
(disalin dari catatan pribadi
kajian selasa pagi di masjid al-Islam, Baltos (12/3/12) dengan beberapa
tambahan yang bersumber dari:
http://rumaysho.com/belajar-islam/muslimah/4015-hukum-menikah.html
http://farisna.wordpress.com/2011/06/18/hukum-asal-menikah-adalah-sunnah/
http://menikahsunnah.wordpress.com/2007/06/20/makna-hukum-dan-tujuan-perkawinan/
http://asysyariah.com/membujang-ala-sufi.html
http://www.firanda.com/index.php/artikel/keluarga/43-kriteria-calon-istri-idaman-seri-3-qpenyayang-subur-dan-perawanq
tafsir as-Sa'di)
bersambung, insyaAllah
Tidak ada komentar:
Posting Komentar