Minggu, 10 Maret 2013

BEBERAPA KESALAHAN SEPUTAR JENAZAH


Bismillah,

MEMINDAHKAN JENAZAH KE KAMPUNG HALAMAN

Kita sering mendengar berita pemulangan jenazah ke kampung halaman, walaupun jenazah berada di kota lain atau negara lain, dengan tu­juan mayit bisa dikubur di sisi kuburan keluarga­nya.
Sebenarnya jika antara tempat meninggal dan kampung halaman sang mayit berdekatan maka tidak terlalu dipermasalahkan. Permasalahannya, sebagian kaum muslimin mengharuskan hal ini, walaupun jenazah berada di tempat yang jauh.

Kebiasaan ini memunculkan rantai perma­salahan; lambatnya proses penguburan, membu­ruknya kondisi mayat sebab terlambat mengubur­kannya, adanya biaya pembawaan jenazah yang sangat mahal dan ini semua menyelisihi perintah Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam, untuk menyegerakan urusan jenazah sebagaimana hadits Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam, bahwa beliau bersabda :

“Bersegeralah dalam mengurus jenazah, karena jika dia orang yang shalih, maka hal itu adalah kebaikan yang kalian segerakan untuknya. Namun, jika dia tidak demikian, maka hal tersebut adalah keburukan yang kalian tinggalkan dari pundak-pundak kalian.” (Muttafaq ‘alaih: al-Bukhari (no.1315) dan Muslim (no.994))

Imam an-Nawawi mengatakan di dalam kitab al-Adzkaar, sebagaimana juga disebutkan oleh al-Bani di dalam kitab Ahkaamul Janaa-iz: “Jika dia berwasiat adar dipindahkan ke negeri lain, maka wasiatnya tidak perlu dilaksanakan, karena pemindahan itu hukumnya haram, berdasarkan pendapat yang shahih serta terpiih sebagaimana yang dikatakan oleh mayoritas ulama dan dikemukakan secara jelas olehpara ulama.”

Syaikh Ibnu Baz rahimahullah pernah mengatakan: “Meskipun orang yang telah meninggal tersebut telah berwasiat, maka wasiatnya tidak perlu dilaksanakan, karena para sahabat radhiyallahu ‘anhuma tidak pernah berwasiat demikian.”

Apabila seseorang meninggal bukan di tempat kelahirannya, maka ia dikubur di tempat tersebut, hal itu lebih baik baginya. Hal ini berdasarkan hadits ‘Abdullah bin ‘Amr radhiyallahu ‘anhu, dia berkata: “Seseorang meninggal dunia di Madinah, tempat di mana dia dilahirkan. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam menshalatinya kemudian bersabda: ‘Andaikata dia meninggal tidak di tempat kelahirannya!’ Para sahabat bertanya, ‘Mengapa demikian, wahai Rasulullah?’ Beliau menjawab:
“Sesungguhnya jika seseorang meninggal bukan di tempat kelahirannya, maka akan diukur dari tempat kelahirannya sampai tempat terakhir hayatnya (kelak) di Surga.” (An-Nasa-i, Kitab “al-Janaa-iz”, Bab “al-Maut  Bighairi Maulidihi” (no. 1831) dan dishahihkan oleh al-Bani dalam Shahiihun Nasa-i (II/8). Lihat pula Shahiih Ibnu Majah dari hadits Ibnu Mas’ud (III/386-387)).

Mayoritas para ulama (Dari kalangan madzhab Maliki, madzhab Hanafi, madzhab Syafi’i, dan Madzhab Hanbali (lihat Kitab al-Fiqh alal Madzahib al-Arba’ah 1/469)) membolehkan memin­dahkan jenazah sebelum dikubur ke kampung halamannya supaya sang mayat dikubur ber­dampingan dengan kuburan keluarganya (Lihat perkataan Imam Qurthubi rahimahullah dalam at-Tadzkiroh 1/94). Akan tetapi demi bolehnya hal ini harus terpenuhi be­berapa syarat ( Hukmu Naqlil Mayyit min Balad ila Balad Qobla ad-Dafn wa Ba’da ad-Dafn hlm. 23-24), di antaranya:
  • Jarak antara tempat meninggalnya dengan ku­buran tersebut berdekatan.
  • Ketika memindahkannya tidak terdapat kesu­litan yang memberatkan.
  • Jenazah tersebut harus terjaga dari kerusakan dan kehormatannya terlindungi.
  • Tidak menyulitkan keluarga serta para pen­gantarnya.


MENULISKAN NAMA PADA BATU NISAN

Dari Jabir, bahwasannya “Rasulullah shalallahu alaihi wasalam melarang menyemen kubur, menulisi, mendirikan bangunan diatasnya dan duduk di atasnya.” [Shahih, Abu Dawud 3326, At Tirmidzi 1052, An Nasa'i IV/86, Ibnu Majah 1563, Hakim I/370, Baihaqi 10/4, Ibnu Hibban 3164].
Sebagian ulama mengharamkan menulisi nisan, diantaranya adalah Asy Syaukani [Nailul Authaar IV/129], “Dalam hadits ini disebutkan pengharaman menulisi kubur. Zhahirnya tidak ada beda antara menulisi nama mayit atau tulisan-tulisan lainnya.”

Sementara itu yang menghalalkan diantaranya adalah Al Hakim [I/370], “Hadits ini tidak diamalkan karena selurun imam-imam kaum muslimin nisan makam mereka ditulisi dengan tulisan-tulisan. Ini merupakan tradisi yang diwariskan dari generasi ke generasi.”

Akan tetapi Adz Dzahabi membantah pernyataan Al Hakim dengan mengatakan, “Kami tidak mengetahui seorangpun sahabat Bani yang melakukan hal itu. Tradisi seperti ini dibuat-buat oleh sebagian tabi’in dan orang-orang setelah mereka. Sementara hadits larangan belum sampai kepada mereka
Sebagian ulama mengecualikan dengan alasan batu yang dituliskan oleh Rasulullah shalallahu alaihi wasalam di atas kuburan Utsman bin Madz’un untuk mengenalinya.
Menanggapi hal ini, Asy Syaukani [Nailul Authaar II/133] mengatakan, “Ini termasuk pengecualian dengan qiyas. Jumhur sepakat tidak sah qiyas bila berlawanan dengan nash sebagaimana dalam kitab Dha’un Nahaar. Jadi masalahnya ada pada keabsahan qiyas.”
Syaikh Al Albani [Ahkaamul Janaa-iz] mengatakan, “Bersandar secara mutlak pada qiyas tersebut adalah salah. Yang benar adalah pembatasan, jika seperti yang dilakukan oleh Rasulullah shalallahu alaihi wasalam untuk mengenalinya, karena jumlah kubur dan bebatuan terlalu banyak, maka boleh menulisi nama di batu sekedar untuk mengenali, Allahu a’lam.” [Mungkin yang dimaksud oleh Syaikh Al Albani sekedar batu yang ditulisi nama tanpa hiasan-hiasan, ukir-ukiran, dsb]



BEBERAPA KESALAHAN LAIN YANG BERTENTANGAN DENGAN SYARI’AT

Banyak orang awam, terlebih lagi yang membesar-besarkan para Syaikh, melakukan banyak kesalahan yang bertentangan dengan syari’at, khususnya yang menyangkut jenazah dan hukum-hukum pelaksanaannya (sebagian sudah disebutkan). Mereka menyangka hal itu bersumber dari agama Islam, padahal tidak, karena bertentangan dengan sunnah Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam atau karena memang tidak ada dalilnya atau karena berasal dari adat kebiasaan orang-orang kafir, atau tidak sah dalilnya, yang mana semua sebab tadi tidak samar bagi orang yang menuntut ilmu dan konsekwen, diantaranya:
[1] Membaca surah (Yaa Siin) untuk orang yang sakaratul maut.
[2] Menghadapkan orang yang sakaratul maut ke kiblat.
[3] Memasukkan kapas di pantat mayyit, tenggorokan serta hidungnya.
[4] Keluarga mayyit tidak makan sampai mereka selesai menguburkan.
[5] Mereka memanjangkan jenggot sebagai tanda sedih terhadap mayyit, kemudian dicukur lagi.
[6] Mengumumkan berita kematian lewat menara-menara.
[7] Mereka membaca saat seorang memberitakan kematian : Al-Fatihah ‘ala ruuh….
[8] Yang memandikan mayat membaca bacaan tertentu saat membasuh setiap anggota tubuh mayat.
[9] Mengeraskan dzikir saat memandikan mayat atau saat mengantar jenazah.
[10] Menghias jenazah.
[11] Meletakkan selendang di atas keranda.
[12] Keyakinan bahwa jika mayat baik maka jenazahnya ringan dibawa, sebaliknya jika jahat maka jenazahnya berat.
[13] Pelan-pelan dalam membawa jenazah.
[14] Mengangkat suara saat menghadiri jenazah, atau sibuk bercanda dengan orang lain.
[15] Memuji-muji jenazah saat menghadirinya di masjid sebelum di shalati atau sesudahnya, begitu pula sebelum dan menjelang pemakaman.
[16] Kebiasaan membawa jenazah dengan memakai mobil, serta mengantar dengan memakai mobil.
[17] Shalat ghaib, padahal sudah diketahui bahwa sudah dishalati di tempat meninggalnya.
[18] Imam berdiri lurus pada posisi tengah mayat laki-laki, atau posisi lurus dengan dada mayat wanita.
[19] Setelah shalat jenazah , ada yang bertanya dengan suara yang keras : “Bagaimana kesaksian kalian terhadap si mayyit ini ?” Lalu para hadirin menjawab : “Dia adalah orang shaleh”.
[20] Sengaja memasukkan mayyit dari arah liang kubur.
[21] Menyebar pasir di bawah mayat tanpa ada alasan daurat.
[22] Memercikkan bantal untuk mayyit atau jenis lain di bawah kepalanya di dalam liang kubur.
[23] Memakaikan air kembang ke mayat di dalam kuburnya.
[24] Talqin dengan kata-kata : “Wahai fulan …..” jika datang kepadamu dua malaikat …. dst.
[25] Takziyah di kuburan, dengan cara berdiri berbaris-baris.
[26] Berkumpul pada suatu tempat untuk bertakziyah.
[27] Membatasi takziyah dengan tiga hari.
[28] Bertakziyah dengan kata-kata : “Semoga Allah memperbanyak pahalamu” sebagai prasangka bahwa cara itu yang ada sunnahnya, padahal itu tidak ada dalam sunnah Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam.
[29] Penyiapan hidangan makanan dari keluarga mayyit di beberapa hari tertentu.
[30] Membuat makanan tertentu atau membelinya pada hari ke tujuh.
[31] Keluar pagi-pagi menuju ke mayyit yang telah mereka kuburkan kemarin, bersama kerabat keluarga dan teman-teman.
[32] Merayakan pujian untuk mayyit pada malam ke empat puluh, atau setahun setelah meninggal. [Abdur Razzaq Naufal dalam kitabnya Al-Hayaat Al-Ukhraa hal. 156 berkata : "Sesungguhnya peringatan ke empat puluh ini berasal dari adat raja-raja Fir'aun, sebab mereka sibuk dengan pengawetan mayat, persiapan serta perjalanan ke kuburan selama empat puluh hari, lalu setelah itu mereka menjadikan perayaan pemakaman].
[33] Menggali kubur sebelum wafat sebagai tanda kesiapan mati.
[34] Mengkhususkan ziarah kubur pada hari Idul Fitri.
[35] Mengkhususkan ziarah kubur pada hari Senin dan Kamis.
[36] Membaca Al-Fatihah atau Yaa Siin di kuburan.
[37] Mengirim salam kepada para nabi melalui mayat yang di ziarahi di kuburan.
[38] Menghadiahkan pahala ibadah seperti shalat dan bacaan Al-Qur’an kepada orang-orang muslim yang sudah mati.
[39] Menghadiahkan pahala amalan-amalan kepada Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam.
[40] Memberikan gaji kepada orang yang membaca Al-Qur’an dan menghadiahkannya untuk mayyit.
[41] Pendapat mereka : Bahwa do’a di sekitar kubur para nabi dan orang-orang shalih mustajab (dikabulkan).
[42] Menghiasi kubur.
[43] Bergantung di kubur nabi dan menciumnya.
[44] Bertawaf (berkeliling) di kubur para nabi dan orang-orang shalih. [Sebagaimana yang dilakukan orang-orang jahil di sebagian negara Islam seperti : Mesir, sayang sekali mereka menemukan orang yang memfatwakan kepada mereka bolehnya hal itu, yaitu dari kesesatan para syaikh-syaikh bid'ah].
[45] Meminta pertolongan dari mayyit, atau meminta doanya.
[46] Mempertinggi dan membangun kubur.
[47] Menulis nama mayyit serta tanggal wafatnya di atas kubur.
[48] Menguburkan mayyit di masjid, atau membangun masjid di atas kubur.
[49] Sengaja bepergian jauh untuk berziarah ke kubur para nabi.
[50] Mengirim tulisan yang berisi permohonan hajat kepada nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam saat berziarah.
[51] Anggapan mereka : “Bahwa tidak ada perbedaan antara semasa hidup dan sesudah mati nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam menyaksikan ummatnya, serta mengetahui keadaan dan urusan mereka.

Sumber:
http://jacksite.wordpress.com/2009/10/08/membawa-jenazah-untuk-dikuburkan-di-daerah-lain/
http://ibnuabbaskendari.wordpress.com/2010/12/04/memulangkan-jenazah-ke-kampung-halaman/
http://jacksite.wordpress.com/2007/08/09/hukum-batu-nisan-dalam-islam/
http://gizanherbal.wordpress.com/2011/09/08/ringkasan-hukum-hukum-jenazah/
Ensiklopedi Shalat Menurut Al Qur’an dan As-Sunnah, Dr. Sa’id bin Wahf al-Qahthani, Pustaka Imam Asy-Syafi’i
Ensiklopedi Larangan Menurut Al Qur’an dan As Sunnah, Syaikh Salim bin Ied Al Hilaly, Pustaka Imam Asy Syafi’i


3 komentar:

  1. inilah orang yg SOK PINTER tp KEBLINGER
    bisanya cuma MENYALAHKAN orang lain tentang hal yg dia tidak faham

    BalasHapus
    Balasan
    1. Di sampaikan sesuai Al quran dan sunnah, kok dibilangnya sol pinter dan keblinger?... anda mau dikuburkan dengan cara bagaimana ya silakan saja... kalo tidak mau seperti cara yg disampaikan Rasulullah juga silakan saja... ngg ada yg memaksa anda utk mengikuti... coba wawasannya diperluas lagi...

      Hapus
  2. Komentar ini telah dihapus oleh pengarang.

    BalasHapus