Jumat, 04 Oktober 2013

MATERI FIQIH MU #1b : Manhaj (Metode)

Kita hanya berpegang pada al-Qur’an dan hadits shahih sebagai sumber rujukan. Nash yang dipegang adalah al-Qur-an yang jelas tidak ada yang dhoif dan hadits yang shahih (termasuk yang hasan). Sebagaimana dijelaskan sang penulis kitab, Syaikh Albani dalam bagian muqoddimah bahwa hadits yang shahih dan hasan sudah mencukupi, tidak dibutuhkan yang dhoif yang tidak dapat dibuktikan validitasnya. Jadi kita harus mencari tahu hadits tersebut shahih atau tidak baik meneliti sendiri (bagi yang mempunyai kemampuan) ataupun mengambil dari ‘alim. Thulab wajib dalam hal ini (mencari tahu shahih tidaknya hadits yang diamalkan) tapi tidak diwajibkan menjadi seperti Imam Ahmad, Imam Muslim dsb karena Allah tidak membebani hambaNya.

Kita meninggalkan hadits dhoif dalam segala hal. Pendapat ulama dalam masalah pengamalan hadits dhoif ini terbagi menjadi 3:
1.       Boleh diamalkan secara mutlak
2.       Tidak boleh diamalkan secara mutlak
3.       Beleh diamalkan dalam urusan-urusan tertentu dan tidak boleh dalam urusan-urusan tertentu
Syaikh Albani menjelaskan dalam muqoddimah Shahih wa Dhoif Targhib wa Tarhib : pendapat yang paling rajih dan ditegaskan oleh Syaikh Ahmad Syakir adalah hadits dhoif tidak berguna sama sekali dalam hal mengamalkannya karena seluruh amaliya itu jika dimaksudkan adalah ibadah kepada Allah maka itu bagian dari syari’at yang merupakan hak Allah sebagai pembuatnya maka sumber, penetapannya, tata caranya juga mesti dari Allah, tidak berhak manusia manapun untuk membuat atau menambah sekecil apa pun. Sementara hadits dhoif tidak dapat dipastikan secara meyakinkan bahwa dengan zhon yang lemah pun itu benar dengan apa yang dikatakan oleh Rasulullah. Karena jika sesuatu itu dikatakan oleh rasulullah terkait degan risalah Islam ini, syari’at agama ini maka itu adalah bagian dari wahyu Allah.

Jika dalam perkara dunia saja jika kita mendapatkan berita dari seorang yang buruk maka pasti kita berusaha menanyakannnya lagi kepada orang lain untuk memastikan kebenarannya, apalagi untuk perkara agama. Dan berhati-hatilah dalam menisbatkan segala sesuatu kepada Rasulullah.

“Barangsiapa yang membuat suatu perkataan atasku yang tidak aku katakana maka hendaknya ia menyiapkan tempat duduknya dari neraka.”

Kesimpulan dari bagian Ib ini adalah:
1.       Mengambil hadits yang shshih
2.       Meninggalkan hadits yang dhoif

3.       Tidak serampangan dalam menyandarkan sesuatu kepada Rasulullah shalallahu ‘alayhi wasallam

(disalin dari catatan pribadi)
link rekaman:

Tidak ada komentar:

Posting Komentar