Di antara ulama ada yang
mengatakan hadits dhoif itu boleh diamalkan seperti al-hafizh Ibnu Hajar Atsqolani,
dinukil oleh murid beliau, asy-Syaukhani, memberikan syarat:
1. Hadits
itu tidak sangat dhoif. Jadi dhoifnya dhoif ringan
2. Tidak
mengandung masalah ahkan, murni masalah fadho’ilul a’mal
3. Diamalkan
dalam rangka kehati-hatian
Jadi tidak diyakini Rasulullah
mengatakan itu. Dan yang dapat memenuhi ketiga syarat ini hanyalah ahli hadits.
Oleh karena itu pendapat yang rajih, yang lebih selamat adalah tidak
menggunakan hadits dhoif.
Terkadang mereka (yang
mengamalkan hadits dhoif) berhujjah dengan perkataan imam Ahmad
“Jika kami dihadapkan dalam
masalah hokum halal dan haram, kami bersikap ketat. Jika kami dihadapkan dalam
masalah fadho’il kami bersikap longgar.”
Yang perlu diluruskan adalah
dhoif pada masa Imam Ahmad adalah hadits yang tidak shahih karena pada masa
beliau hanya ada dua hadits, yakni shahih dan dhoif. Dan dhoif ini
bertingkat-tingkat. Pada masa beliau dhoifnya adalah dhoif yang ringan.
Pertanyaan selanjutnya seputar
mahasiswa yang menemui waktu shalat ketika kuliah dan bagaimana kalau sholat
berjama’ah di kloter selanjutnya di masjid yang sama.
Syaikh Utsimain menjelaskan
menuntut ilmu itu wajib, belajar itu wajib, tapi kewajibannya tidak menutupi
kewajiban shalat. Maka ketika adzan, ketika shalat itu sudah masuk waktunya,
wajib meninggalkan diskusi atau apapun --Ini adalah pada asalnya—
Kalau di kampus kita berhubungan
dengan aturan kampus, watak dosen, dsb. Kalau ada yang mampu dan mau dan
sanggup untuk bicara dengan dosen soal ini, maka kalau diterima, Alhamdulillah..
Kalau mengikuti perkataan ulama, mestinya ditinggalkan, tidak ada ketaatan pada
makhluk dengan kemaksiatan pada Khaliq. Permasalahannya kita mampu atau tidak.
Lalu, untuk mengerjakan sholat
kloter selanjutnya di masjid yang sama, terjadi ikhtilaf dikalangan ulama:
diantaranya mengatakan tidak ada masalah, diantaranya mengatakan tidak boleh, seperti
syaikh Albani, “Tidak boleh mendirikan jama’ah berbilang dalam satu masjid yang
tetap imamnya.” Masjid yang tidak tetap imamnya adalah seperti masjid di
pinggir jalan untuk mushafir, mushola-mushola prodi, dsb.
Saran ustadz : shalat di mushola prodi
saja jika memang berpegang teguh pada pendapat syaikh Albani.
(disalin dari catatan pribadi)
link rekaman:
Tidak ada komentar:
Posting Komentar