Minggu, 19 Januari 2014

Belajar Berumah Tangga

Sudah 2 minggu sejak rekaman ceramah ustadz armen lc rahimahullaahu diputar di radio rodja. Kali ini bahasannya tentang bagaimana membentuk keluarga islami yang ideal (kurang lebihnya begitu). Ada rasa lucu, cemburu, gembira bahkan kesedihan yang bercampur aduk menjadi satu ketika mendengar kajiannya dengan cermat. Saya mendengarnya sambil tersenyum dan sambil mengeluarkan air mata, berharap suami saya mendengarnya juga (yang saat itu sedang tertidur karena kelelahan sepulang dari kerja). Sempat juga ingin saya matikan radionya takut tak sanggup mendengarnya, tapi hati penasaran mendengar kelanjutannya. Akhirnya, tuntas juga ceramah itu saya dengarkan hingga akhirnya.

Saat itu, Ustadz Armen rahimahullah banyak menjelaskan pentingnya peran suami dalam membentuk keluarga yang sakinah, mawaddah wa rahmah. Bahwa sikap suami sangat penting dalam membentuk ketaatan istri, bila sang suami kurang memberikan perhatian kepada istri, maka timbal baliknya menjadikan sang istri enggan mentaati sang suami. Kebanyakan suami (yang lebih didominasi akal) kurang sensitif terhadap perasaan istri, bila istri sedikit manja dan ingin diperhatikan, maka kebanyakan suami menganggap hal itu sebagai suatu hal yang sepele dan tak penting untuk ditanggapi. Mungkin inilah sebabnya ustadz armen menitikberatkan ceramahnya pada peran suami dalam rumah tangga.

Beliau juga menjelaskan bahwa seorang suami haruslah penuh kasih sayang kepada istri dan anak-anak. Tidak perhitungan kerja, selalu membantu pekerjaan istri, tidak bakhil dalam hal keuangan karena sebaik-baik shadaqoh adalah kepada istrinya, senang memberi hadiah dan kejutan kepada istri, sering berjalan-jalan berdua dengan istri sambil bergandeng tangan, sering memberikan pujian kepada istri, penuh kasih sayang, memanggil dengan panggilan kesayangannya, dll. Tapi intinya adalah, suami-istri harus saling memahami karakter pasangannya, dan menyesuaikan diri dengannya, hingga tercipta saling pengertian dalam mengarungi mahligai rumah tangga.

Bagi saya, untuk menjadikan keluarga sakinah, mawaddah wa rahmah memang dibutuhkan banyak pengertian dan toleransi kedua belah pihak. Pada dasarnya, pernikahan adalah penyatuan dua pribadi yang berbeda, dua karakter yang berbeda dengan latar belakang kehidupan yang berbeda pula. Dibutuhkan banyak sekali kesabaran dan kelapangdadaan untuk membuat dua pribadi ini bisa saling beriringan dan sehati-sepikiran dalam semua hal. Mencintai kekurangan dan kelebihan pasangan adalah lebih utama, sebagaimana pasangan kita mencintai kekurangan dan kelebihan kita.

Banyak proses yang harus dilewati untuk membentuk keluarga yang bahagia. Tidak seperti makan sambel, ketika dimakan langsung terasa pedasnya. Proses itu kadang teramat panjang hingga puluhan tahun, dan bukan kasus yang jarang bila sebuah keluarga masih sering terjadi cekcok besar meskipun sudah lebih 20 tahun berumah tangga. Kadangkala proses pembentukan itu juga bisa terjadi begitu cepat, dan tanpa terasa, sebuah pasangan layaknya kacang dengan kulitnya, selalu bersama dan sepikiran dalam berbagai hal. Kalaupun ada perseteruan hanya dalam hal-hal sepele yang bisa hilang dalam hitungan jam.

Kunci pernikahan yang bahagia, menurut saya, bahwa setiap pribadi baiknya tidak banyak menuntut dari pasangannya hal-hal yang diluar kemampuan mereka. Karena tuntutan-tuntutan yang menumpuk dalam hati bisa menjadi bumerang yang menusuk punggung kebahagiaan keluarga. Rasa tidak puas, impian dan angan-angan berlebihan tentang pasangan sendiri menimbulkan konflik batin dan menjadikan diri enggan melihat kebaikan-kebaikan pasangan. Kadang-kadang timbul prasangka buruk, bahwa barangkali pasangan kita tidak sebaik sangkaan kita pada awal pernikahan, lalu timbul sedikit penyesalan karena memilih mereka menjadi pasangan kita, siapa tahu tadinya kita bisa mendapatkan pasangan yang lebih baik.

Biasanya tuntutan-tuntutan ini timbul lantaran seringnya membandingkan pasangan dengan orang lain. Seperti sebuah istilah, rumput tetangga lebih hijau dibanding rumput di halaman rumah sendiri. Pasangan orang lain terlihat lebih dari pasangan sendiri. Dan bila perbandingan-perbandingan ini sudah mulai terjadi, waspadailah kehancuran rumah tangga yang sebentar lagi akan menjamah keluarga kita, karena perbandingan ini-lah yang menimbulkan tuntutan kesempurnaan pasangan dan menghancurkan pondasi kebahagiaan yang kita bina selama bertahun-tahun.

Dan sebenarnya kebahagiaan dalam rumah tangga terletak pada seberapa besar kita meminimalisir keegoisan diri. Belajar memperhatikan dan mendahulukan kepentingan orang lain (seperti suami dan anak-anak). Belajar mengatur prioritas dan memaksimalkan peran kita sebagai seseorang yang dibutuhkan orang lain. Mampu memanajemen segala hal kecil yang seringkali tanpa disadari sangat bermanfaat untuk hal besar ke depan. Jika kita tak sanggup menjadi orang yang penuh kebaikan dalam keluarga kita, setidaknya jangan menonjolkan banyak kekurangan di mata mereka.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar